Bagian 2 : Sendok Plastik Melayang

98 19 10
                                    

Rani duduk di taman depan gedung perkuliahan sendirian. Di tempat duduk yang disediakan dengan kursi panjang terbuat dari semen berhadapan dan meja di tengahnya yang biasa digunakan untuk mahasiswa berdiskusi, sekadar duduk-duduk, makan bekal ataupun mengerjakan tugas. 

Jika ditanya, mengapa ia sendirian? Itu karena teman-temannya masih berada di dalam kelas mengerjakan ujian dadakan yang dilaksanakan oleh dosen Matkul yang mengajar. 

Rani yang berotak cerdas menjadi orang pertama yang menyelesaikan ujian itu dan disuruh keluar. Jadilah ia duduk sendirian untuk mendinginkan otak sekaligus memakan bekal yang ia bawa dari rumah. Niatnya mau dimakan untuk sarapan, tapi apa daya, kabar ujian dadakan untuk mengganti pertemuan yang akan datang membuatnya fokus belajar dan baru sempat makan. Sembari menikmati bekal, ia bertukar pesan dengan Wiryo---Wiryo itu ayahnya jika kalian lupa---. Ayahnya saat ini sedang mengikuti lokakarya yang membahas tentang kompetensi belajar bersama guru-guru di sekolahnya setelah menyelesaikan tugasnya mengajar.

Hari sudah siang hampir sore saat ini. Angin berembus pelan mengibaskan lengan baju Rani yang terbuat dari bahan sifon itu. Rani mengunyah makanannya sambil memandangi orang-orang berlalu lalang, ada yang berjalan santai, ada yang tergesa seperti sudah terlambat mengikuti kelas.

"Loh, Ran?"

Sebuah suara menyapanya membuat Rani menoleh ke sumber suara. Ia melihat Ilham di sana yang berjalan mendekat.

"Kak Ilham?"

"Hai, ngapain di sini sendirian aja?" tanyanya. "Wah ada makanan enak!" serunya kemudian saat melihat makanan di hadapan Rani.

"Kak Ilham kok masih di kampus?"

"Baru kelar bimbingan, kena mental ini gegara pembimbing satu sama pembimbing dua beda pendapat. Kasian aku tuh sama otak lembutku yang harus kuat dituntut keadaan," keluh Ilham kemudian duduk di kursi panjang di hadapan Rani.

"Aku boleh duduk di sini, kan? Mau ngadem otak ini," lanjutnya yang diangguki Rani.

"Duduk aja silakan. Kak Ilham mau? Kebetulan lagi bekal banyak," tawar Rani.

"Mau dong!" jawabnya senang. Rani mengambil sesuatu di tas bekal dan memberikan sendok plastik berwarna putih ke Ilham.

Ilham makan sesuap nasi dan telur dadar dicampur sayuran yang digulung , kemudian matanya terlihat seperti berbinar. "Wah ini enak banget!"

"Yaiyalah," ucap Rani membanggakan diri, "Ini ebi furainya dicoba juga."

Ilham mengangguk kemudian beranjak ke ebi furai. "Wih keren, bisa panjang gini udangnya. Jenis udangnya khusus, ya?"

"Udang biasa, kok. Tapi ada tipsnya itu, Kak. Jadi abis dibersihin kulitnya terus dikerat dulu bawahnya, abis itu udanganya diteken sampai bunyi 'krek' gitu," jelas Rani membuat Ilham manggut-manggut. Ilham pun memotongnya dengan sendok namun agak kesusahan. Hingga akhirnya...

Ctak!

Sendok plastik itu patah dan terpental mengenai wajah Rani dan jatuh di atas roknya. 

"Maaf, Ran. Serius aku nggak sengaja dan aku lagi nggak bercanda!" paniknya saat melihat sendok plastik yang melayang ke wajah Rani.

"Hahahah, makanya pelan-pelan dong," ucapnya di sela-sela tawanya, padahal Ilham sedang panik. Rani menggelengkan kepalanya. "Iya, tau. Nggak apa-apa, Kak. Lagian nggak sakit, kok, cuman kaget aja," jawabnya setelah mencoba menghentikan tawanya dan memberikan sendok yang patah pada Ilham. "Udah, nih makan lagi. Digigit aja udangnya nggak apa-apa. Aku nggak ada sendok lagi dan nggak mungkin kita pakek sendok yang sama."

Ilham menurut dan akhirnya makan dengan sendok yang patah.

Melihat Ilham yang menurut pasrah sedang makan dengan sendok patah, Rani kesusahan menahan tawanya.

Semara LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang