Bagian 5 : Memasak

52 14 0
                                    

Ilham beranjak dari jok motornya menuju ke dalam halaman rumah yang terlihat masih asri. Sepeda motornya berada di garasi rumah itu yang langsung berdampingan dengan kolam ikan yang suaranya bergemericik dan taman. Ia berdiri dan melihat ke arah ponselnya sebentar. Melihat maps yang Rani bagikan.

"Bener nih, rumahnya Rani," monolognya.

"Permisi, Ran... Raniiii," teriaknya memanggil sang pemilik rumah.

Dari dalam rumah, terdengar suara orang berlari mendekat.

"Iyaaaa!" serunya di sela-sela larinya. Tentu saja itu suara Rani.

"Kak Ilham, masuk dulu, Kak," ucap Rani sembari sedikit mencari udara sebanyak-banyaknya selepas berlari. Ilham melihat Rani sedikit terkejut. Pasalnya, ini pertama kalinya ia melihat Rani menggunakan daster rumahan, biasanya ia melihat Rani menggunakan dress atau pakaian formal lainnya di kampus atau di tempat bimbel les. Daster dengan model bawahan rampel panjang sebetis itu bewarna hitam dengan aksen warna merah muda. Terlihat kontras dengan kulit Rani yang bewarna putih gading itu.

"Waw, Rani. Baru sekali ini saya melihat Anda memakai baju daster," ucap Ilham dengan raut muka takjub yang dibuat-buat.

"Apaan, sih? Sok-sokan ngomong formal. Udah sini masuk," jawab Rani malas meladeni drama Ilham.

Ilham menaruh tangan kanannya di depan dada mengepal seperti sedang pose sasageyo dan memejamkan mata. "Masuk ke mana? Ke pintu yang kaubuka atau ke dalam hatimu yang sudah ada orang lain di dalamnya? Pintu rumah yang kaubuka, hatiku yang kaugugah."

Setelah mengatakannya, ia melihat ke arah Rani untuk melihat responnya. Rani diam, melihat Ilham dengan ekspresi malas dan berancang-ancang menutup pintu.

Ilham langsung kelabakan.

"Eh-eh, becanda doang elah, Rannnn!" seru Ilham dan bergegas mencopot sandal hitam miliknya.

"Lagian, di depan rumah orang, loh, tingkahnya gak jelas banget drama segala. BTW, Kak Ilham udah makan? Makan dulu, yuk? Sambil nunggu ayahku bangun. Ayahku di kamar aku suruh tidur siang bentar. Baru dateng dari ngajar soalnya."

"Aduh, nggak usah repot-repot, Ran. Aku kan udah ngrepotin minta diajarin bikin kue."

"Nggak apa-apa, Kak. Kakak duduk dulu, aku mau masak buat makan habis ini soalnya tadi pagi aku sama ayahku sama-sama bangun kesiangan. Tumis labu siam suka, 'kan? Mana bawaannya itu, biar aku bawa ke dapur," pinta Rani sembari menunjuk ke arah tas belanja bewarna biru yang ditenteng Ilham.

"Aku bantuin masaknya aja, yuk? Daripada aku sendirian kayak kipas angin tak bertuan, toleh kanan toleh kiri kayak orang mau nyebrang jalan tapi nggak nyebrang-nyebrang. Toh nanti sekalian aku kan ke dapur juga bikin kue," tawar Ilham yang membuat Rani diam sejenak.

"Boleh deh, yuk." Rani menerima tawaran Ilham dan berjalan duluan memandunya menuju dapur.

Dari ruang tamu, setelah melewati lorong yang sebelah kirinya ada dua pintu, dan sebelah kanan akses tangga menuju ke lantai dua, mereka akan sampai di dapur.

Dapur rumah Rani berukuran cukup luas. Dengan dominasi kitchen set bewarna putih dan pintu dengan akses garasi yang langsung berbatas dengan taman.

Rani biasanya masuk rumah lewat dapur karena sekalian memarkirkan sepedanya daripada harus memutar lewat pintu ruang tamu.

Di tengah dapur itu ada meja yang berukuran cukup besar sebagai meja makan dan tempat menyimpan makanan. Juga tempat biasa Wiryo duduk dengan memangku kucing kesayangannya yang bernama Ngkus dan menyesap teh oolong, sembari menunggu Rani pulang dari kuliah.

Ilham menaruh bawaannya di atas meja dan mengeluarkan salah satu bungkusan di dalamnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ilham menaruh bawaannya di atas meja dan mengeluarkan salah satu bungkusan di dalamnya.

"Ran, ini aku bawa buah-buahan. Aku taruh mana ini?"

Rani yang sedang menaruh wajan di atas kompor pun menoleh. "Kak Ilham repot-repot aja."

"Nggak apa-apa. Nggak ngerepotin, kok. Ini di dalamnya juga aku bawain apel badminton kesukaan kamu."

"Hah? Apel badminton?" Rani dibuat bingung karenanya. Ia mendekat ke arah Ilham dan mengambil uluran tangan Ilham yang memberikan kantung berisi buah-buahan.

"Apel yang warnanya merah itu lo, yang kamu pernah bagiin di santangram story."

"Bisa-bisanya Kak Ilham inget. Aku aja lupa kalau pernah upload itu di story."

Saat Rani membukanya, ia mengembuskan napas dan terkekeh singkat. "Apel Washington, Kak. Mana ada apel badminton. Ngadi-ngadi aja."

Ilham menggaruk kepalanya. "Pantesan tadi diketawain yang jual."

Mendengarnya, Rani tertawa dan memukul-mukul lengan Ilham. "Kak Ilham ini hobi banget diketawain orang jualan. Dulu diketawain orang jualan mie pangsit, sekarang orang jualan buah. Habisnya kelakuannya absurd banget jadi orang."

"Aduh, Ran. Aku tuh sebenernya cuman pura-pura absurd, kok. Soalnya udah kebiasaan serius tapi dibercandain keadaan," jawab Ilham sambil menjauhkan lengannya dari serangan Rani.

"Hahh...," hela Rani mencoba menghentikan tawanya. "Kak Ilham tolong ambilin labu siamnya di kulkas, ya, sekalian dicuciin juga. Tadi udah aku taburin garam," pinta Rani sambil merajang bumbu.

"Oke siap! Sini sekalian aku yang tumisin bumbunya."

Rani mengangguk dan membiarkan Ilham melakukan langkah selanjutnya.

"Kalau gitu aku siapin alat makan sama meja makan dulu, ya," pamit Rani kemudian melenggang pergi.

Beberapa menit kemudian....

"Ran!" seru Ilham pelan sambil mendekat ke arah Rani yang sedang menaruh piring di atas meja.

Rani yang melihat Ilham sedikit panik pun kebingungan. "Kenapa, Kak?"

"Anu, tadi aku kan masukin garam, terus aku cicip dikit kok rasanya manis. Aku tambahin lagi garam agak banyak biar rasanya balance. Terus pas aku cicip—"

"Keasinan?" potong Rani menebak.

Ilham menggeleng. "Ternyata baru ngeh kalau itu rasa melon. Aku numis melon."

"HAH?! KOK BISA?!" teriak Rani refleks karena terkejut dan menghampiri kompor.

Benar saja. Melon yang sudah diserut kini bukannya bersatu dengan sirup, malah bersatu dengan bawang merah dan bawang putih seperti menjadi pemain pengganti peran Ibu Tiri yang sama sekali tidak cocok. Tapi ini bukan tentang cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih. Ini tentang tumis melon.

###

Jangan lupa vote dan komen biar aku semangat ngetik lanjutnya.

Semara LokaWhere stories live. Discover now