Penonton dan Pelari

112 23 2
                                    

Hari ini aku sedang berjalan, tapi logikaku meminta berlari.

Kemarin, aku berlari, tapi tubuhku lelah lalu berulangkali memaksa duduk.

Masalahnya, saat sudah duduk, kakiku tak bisa diam.

Kepalaku juga.

Berlari mengelilingi lapangan logika lagi.

Naluriku jangan ditanya.

Mendramatisir masa-masa sebelum mulai, sembari menata khayal apa-apa yang ada di garis finish nanti.

Setiap mengikuti lomba, faseku terus begitu. Aku mengeliminasi diri saat di tengah arena. Berbelok menuju bagian penonton secara tiba-tiba. Kerap merasa tidak bisa, walaupun kenyataannya, tak banyak orang yang dipilih menjadi finalis sebagai bagian dari lomba itu.

Saat ini, aku lebih memilih mendengarkan sumpah-serapah dari tempat duduk penonton ini. Lokasi yang begitu berisik. Orang-orang ini sering sekali menyalahkan siapapun yang ada di ajang itu saat larinya tak mampu laju.

Karena aku pernah di posisi itu, mendengarnya hatiku tak terima. Mereka tidak tahu saja betapa lelah saat di sana. Aku saja sampai menyerah, gerutuku.

Aku penasaran, apakah mereka pernah ikut ajang lalu lelah kemudian menyerah, atau tak pernah masuk arena, maka dari itu sanggup meremehkan yang berada di lapangan?

Aku mencoba memakai sudut pandang mereka.

Memang, saat melihat ada yang lambat melaju, keinginan untuk menyalahkan ketidak-mampuannya perlahan mencuat. Kuperhatikan, ia meminggirkan diri, dan orang lain berteriak menganggapnya pengecut.

Pikiranku setelahnya menelusuri 'pikiranku'.

Sepertinya, aku pernah di posisi itu

Pandanganku menyapu isi lokasi penonton ini. Mereka tidak melakukan apapun sampai perlombaan usai. Bertahun-tahun hanya berkomentar tanpa memeroleh penghargaan sama sekali. Hal terlucu, untuk duduk di sini, mereka mesti membayar, dan ironinya, yang ditonton dan disumpah-serapahi, justru dibayar menggunakan uang mereka.

Tak mungkin aku mau rugi begitu, pikirku. Syukurnya, pendaftaran belum tutup sejak berabad-abad lamanya. Selagi tidak mengulah dimana-mana, black-list tak akan ada.

Maka, setelah mengajukan diri, aku segera berlari ke arena. Sesekali kupandang lokasi penonton, bergantian menatap lurus ke arah lintasan lomba di hadapan. Aku hanya teringat masa-masa di sana.

Janjiku, teruslah berlari saat mampu. Jika tidak, silakan berjalan perlahan, mengatur napas, asal jangan pernah keluar dari arena, menjadi penonton tanpa melakukan apapun, selain hanya berkomentar dan mengeluarkan uang untuk menguras tenaga.

Setiap perlombaan pasti ada jeda istirahat. Daripada harus mulai dan mengulang dari awal sepertiku lantaran sudah lama tidak pemanasan, lebih baik terus di arena, bukan? Barangkali terlatih.

Jika tak juara, tak apa. Tak perlu khawatir dengan perdebatan antara pikiran, hati, lisan dan perbuatan. Asal tak ada yang mendengar selain mengadu kepada Sang Penyelenggara Acara, aman. Yang penting, kita sudah menggunakan 'kita'.

Begitu, menurutku.

Semoga aku dan kamu mampu.

Panggil Aku IntroverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang