Seni-woman

102 20 2
                                    

Kata mereka ada orang gila di pojok kota.
Kulihat hanya ada seniman berambut sulit disisir,
panjang meliuk melewati bahu.

Hasil binar mata rumitnya tertuang jelas
di atas kertas itu—rangkaian aksara jauh dari zaman.

Ucapannya bergelombang ambigu,
tapi aku dan sejenisku paham-paham saja.

Ia hapus jejak, lompat jauh dari hiruk-pikuk,
dicecar berbagai macam, padahal ia sejak tadi bungkam.

Manusia di bumi sulit mengurai peribahasa, eluhnya,

lalu kataku tapi anda manusia dan sedang di bumi.

Geleng kepala, tersesat, simpulnya.

Pakaian itu-itu apa tak bosan,

ia ingin ubah dunia, ungkapnya.

Semakin tak masuk akal, diskusi berputar-putar, kujawab.

Ia masih geming, maka kupecah hening,

tapi makhluk bumi tak tahu anda siapa,

ujarnya biar saja.

Memang mau ubah apa, tanyaku,

kemanusiaannya para manusia bumi, percaya diri paparnya.

Ditanya isi kepala, hanya ada angkasa dan bumi, responnya.

Tapi anda tak suka bumi, kupotong,

ia mengangguk tapi diam kembali.

Lalu, kusampaikan,
seniman memang tidak tinggal di bumi,
ia hanya tinggal di pikirannya sendiri.
Kalau ingin menjadi manusia bumi,
tak perlu idealis pada diri.

Ia potong pernyataanku dan berkata,

tapi manusia sering mengutamakan keuntungannya sendiri.

Sekarang, aku yang bingung jadinya.

Terakhir, ia tetap mempertahankan rambutnya agar semakin sulit disisir.

Panggil Aku IntroverWhere stories live. Discover now