Ikhlas & Menghargai

877 127 11
                                    

Masalah yang sulit untuk diubah oleh manusia dari masa ke masa adalah budaya menghargai. Tidak peduli apakah dari bangsa berjenis apa, meski ada beberapa yang mampu, tapi tetap, masih ada celah-celah tak terlihat akan sempitnya pikiran mengenai praktek budaya penting satu ini.

Indonesia, misalnya. Meski dikenal dengan negara paling ramah di dunia, tapi budaya menghargai sayangnya masih minim. Jika ingin melihat sejarah, tidak perlu masa sebelum merdeka, setelahnya saja, kita akan dikejutkan oleh beberapa ketidaktegaan rakyat Indonesia kepada para pahlawannya.

Sekelas pahlawan.

Maka, jika merasa terdzalimi lantaran tidak dianggap apa yang dipersembahkan dengan susah payah ke khalayak, tidak perlu khawatir dan merasa kerdil sendiri.

Pak Soekarno saja diturunkan oleh rakyatnya sendiri hanya karena kesalahpahaman.

Ingin bertemu dengan Pak Hatta, karibnya selama membantu dalam memerdekakan Indonesia, begitu ketatnya penjagaan bagi mereka untuk saling menyapa setelah sekian lama.

Buta dengan keringat beliau yang tercecer di berbagai pengasingan, penjara berbagai sudut.

Sekelas Pak Habibie saja dikucilkan oleh rekannya hanya karena penyakit hati menjijikkan yang satu ini; iri.

Seakan buta dan tuli dengan berbagai prestasi penghargaan yang direbut beliau di masa mudanya.

Perjuangannya mempertahankan ide, yang hanya khusus dipersembahkan bagi bangsa.

Beliau, sungguh menutup telinga dari tawaran negara tetangga yang memohon agar isi kepalanya fokus pada mereka saja.

Jadi,

jika dipikir-pikir,

tak perlu heran jika apapun yang kita kerjakan dipandang remeh oleh banyak orang.

Bahkan, sampai tutup mata.

Bukan sebelah mata lagi.

Karena sekali lagi, jelas bahwa,

tidak menghargai merupakan original budaya yang telah mengakar di negeri ini sejak dahulu kala.

Jikapun ada kekecewaan yang menyusup hadir, kemungkinan besar itu timbul dari hati yang begitu kikir memberikan framing positive dengan cuma-cuma kepada sesiapa.

Teori yang salah sebenarnya jika ingin ikhlas namun malah meminta kembalian.

Belajar dari pahlawan masa lalu yang tetap semangat apapun caci dan makian terlempar ke wajahnya,

tidak rumit sebenarnya.

Hanya satu jenis; ikhlas.

Namun terus terang saja, terlalu sulit.

Sungguh pantas jika pahala satu ini teramat besar di sisi Rabb.

Yang membuat tulisan ini saja belum bisa menggenggamnya sama sekali.

Secuil pun, tidak ada.

Jauh.

Belum layak.

Panggil Aku IntroverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang