Berubah: Mulai Dari Mana?

128 22 13
                                    

Entah tata bahasa bermajas bagaimana yang kugunakan saat menuangkan kata-kata ini. Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya kutulis.

Hanya saja, yang kusadari ada satu; Aku ingin tahu tentang tanda-tanda hadirmu nanti, agar saat kamu tiba, aku bisa menyambutmu dengan baik.

Ada begitu banyak alasan mengapa aku ingin tahu. Hal ini berawal dari munculnya kekhawatiran diri lantaran terlalu berlumur pada banyak kekurangan.

Mungkin, terkesan terlalu tahu diri. Tetapi, ya, memang begitulah. Apa, ya. Seorang aku, yang sangat luar biasa sekali kekurangannya ini, ada yang mau? Tidak salah dengar?

Dibanding menyebut kriteria idaman, aku justru khawatir tentang ... apakah aku pun memenuhi kualifikasi dari seseorang yang kujadikan kriteria idamanku-yang entah siapa itu.

Begini.

Bukankah kita terkadang menginginkan pasangan hidup yang berbanding terbalik dengan kita, dalam artian, melengkapi?

Misal, si tidak banyak bicara ingin dengan yang tak bisa diam, si dingin dengan yang mudah hangat pada siapapun, si kaku dengan ia yang humoris.

Atau, jika persamaan, si penyuka diskusi pun ingin yang demikian, si romantis pun berharap dengan ia yang mampu membalas keromantisannya, si humoris butuh ia yang mudah tertawa karena humornya.

Namun, pertanyaannya kepada diriku sendiri, jika kriteriaku itu sudah muncul tepat di hadapanku, apakah aku mampu menjadi teman hidup yang bisa memenuhi kriterianya pula, sebagaimana aku yang tentunya pun mengharapkan yang demikian darinya?

Apakah sebagai sesama penyuka diskusi, aku mampu menjadi teman diskusinya-dengan kriteria utama yaitu, pendengar yang baik, perespon yang mumpuni dan penerima perbedaan opini?

Atau, jika kita moody-an, tentunya kita ingin pasangan yang tidak begitu juga, bukan? Lalu, bukankah pasangan kita pun ingin pasangan hidup yang tidak moody-an pula?

Berlaku untuk harapan agar bersama dengan ia yang bisa memahami diri kita, apakah yakin bahwa kita pun bisa bersikap demikian kepada dirinya?

Kita tidak mau dicap egois oleh pasangan hidup kita, bukan? Berarti, harus seri. Adil. Serupa.

Jadi, kesimpulannya?

Sebuah refleksi untuk tahu diri. Aku ingin tahu pertanda kedatanganmu agar bisa memeriksa lebih dini apa yang harus diubah.

Ketidakjelasan semacam ini membuatku lalai. Maka, aku hendak tahu, meski dalam ranah ini, tentu bukan hakku untuk tahu lebih dulu. Allah Yang Tahu secara runut. Lalu, pada pertanyaan di paragraf ini, jawabannya adalah, tanpa tahu kapan, dimana, siapa, bagaimana dan mengapanya, pada intinya, kenyataannya, aku memang harus berubah.

Di titik ini, aku semakin bingung.

Mulai dari mana?

Entahlah.

Bukankah berubah itu harus karena Allah?

Memang.

Lalu, mengapa harus perkara jodoh dulu baru niat berubah?

Sekali lagi, entahlah.

Mungkin inilah sebab kamu-yang-entah-siapa-itu belum hadir di hadapanku. Karena lahir apalagi batinku, bisa jadi belum ada perubahan, yang baik.

Juga, barangkali Allah belum memampukanku untuk membangun bahtera besar itu, yang karena terlalu besarnya, sampai mampu memenuhi separuh dari agama.

Aku, belum pantas ternyata.


----


Ini tulisan sudah terlampau lama padahal di notes, tapi baru ini dipost, hehe.

Panggil Aku IntroverWhere stories live. Discover now