Part 8

20 6 2
                                    

Sepulang sekolah Allea dan teman-teman sekelasnya pergi ke rumah Dita yang hari ini ulang tahun. Rumahnya tidak jauh dari sekolah jadi mereka memutuskan berjalan kaki. Ibu Dita sudah memasak banyak makanan untuk disantap bersama. Seperti kebiasaan anak-anak sekolah pada umumnya, melemparkan tepung atau telur sudah menjadi tradisi saat ada teman yang berulang tahun. Alhasil Dita pulang dengan tubuh putih dan lengket oleh telur. Kompor dari semua kejadian tersebut adalah ketua kelas mereka dan juga Benny yang paling bersemangat. Bahkan tidak tanggung-tanggung Benny juga ikut menggusapkan tepung ke wajah Allea.

"Setan lo!" amuk Allea ketika tiba-tiba diusapkan tepung ke wajahnya saat melihat Dita yang sekarang merana.

"Wih mukanya kayak kunti!" Benny mengejek bahkan tidak tanggung-tanggung kali ini melemparkan tepung ke wajah Allea.

"Masuk mata bangsat!" kesal Allea yang sekarang mengusap matanya. Terasa sangat perih dan juga tidak bisa dibuka. "Tifa! Tolongin!" Allea benar-benar kesulitan sehingga dia hampir tersandung batu. Kedua matanya terasa sangat perih dan sakit. Benny masih tertawa terpingkal-pingkal melihat Allea yang dia kira hanyalah bercanda seperti biasa.

"Lo beneran?" Sempat-sempatnya Benny masih bertanya seperti itu sementara Allea sudah menangis dan panik. Wajah penuh tepung bercampur air mata kesakitan karena matanya perih. Bila keadaannya Allea tidak kesakitan, tentu Benny akan menertawainya habis-habisan. Wajah Allea benar-benar kacau. Mungkin bila tidak ada tepung, warna wajahnya sudah sangat merah. "Sini gue liat." Benny ikut menolong setelah Tifa panik meminta air untuk membersihkan mata Allea. Teman-temannya yang lain juga panik. Bahkan Dita yang sudah berlumuran tepung dan telur cemas melihat Allea. Mereka kali ini menilai Benny cukup keterlaluan dan Benny akui dia memang sudah berlebihan kali ini. Ketua kelas mereka bahkan ingin memarahi Benny karena keterlaluan.

Sungguh-sungguh Benny tidak berniat membuat Allea celaka. Dia hanya ingin mengganggu Allea seperti biasanya, nahas dia cukup keterlaluan kali ini. Benny mengambil sapu tangannya lalu dia usapkan ke wajah Allea yang sudah memprihatinkan. Barulah terlihat wajah Allea yang merah karena kesakitan. Dia sebenarnya takut terjadi hal buruk kepada Allea akibat ulahnya. Dia melihat Tifa datang sambil berlari setelah membeli air mineral di warung. Cepat-cepat Benny menyuruh Allea membasuh matanya. Setelah dibasuh mata Allea masih tidak bisa dibuka. Tentu saja mata Allea lenket oleh tepung bercampur air mata kemudian menjadi perih, jadi sangat wajar Allea menangis histeris. Benny khawatir setengah mati. Meskipun dia mengganggap Allea selalu menyebalkan, tetapi tetap saja mereka berteman akrab.

"Le, buka mata lo perlahan. Nanti gue bersiin pake air," kata Benny yang terdengar sangat khawatir. Tifa memberikan tisu kepada Allea agar bisa membersihkan matanya sendiri. Dia takut salah langkah.

"Pedih," lirih Allea yang kembali menangis.

"Iya, coba buka mata lo perlahan. Gue bersiin pelan-pelan ya. Jangan buat gue cemas, Le." Benny benar-benar merasa bersalah. "Tepungnya pasti masuk ke mata lo makanya perih."

"Awas lo kalo mata gue buta! Mata lo bakal gue congkel!" racau Allea sambil membuka perlahan matanya yang perih. "Gue congkel pake linggis!"

"Iya, bebas! Buka dulu mata lo!" Allea kemudian membuka matanya yang perih dengan sangat terpaksa. Matanya sudah merah dan benar saja ada bekas tepung yang sudah kena air mata di sana cukup banyak. "Bisa lihat kan?"

"Cuci pake air All, sampai bersih." Tifa membantu Allea mencuci matanya yang perih. Setelah benar-benar dicuci perlahan dengan bantuan tisu dan air, mata Allea akhirnya sudah bisa terbuka sempurna. Hanya saja masih terasa perih dan sangat merah. Allea mendapati teman-temannya yang cemas dengan keadaannya. Tifa langsung berhamburan memeluk Allea. Benny mengembuskan napas legah sambil bersyukur di dalam hati melihat keadaan Allea baik-baik saja. Dia menatap Allea yang menatapnya dengan tatapan ingin membunuh. Benny membalasnya dengan senyum tulus yang dia sendiri tidak tahu mengapa tersenyum tulus.

"Ke dokter! Gue yang antar dan bayar!" Tanpa persetujuan Allea, Benny mengajak Allea berobat. "Bisa infeksi dan gawat." Benny menarik tangan Allea.

"Gue nggak mau mata gue buta!" Allea kembali menangis.

"Makanya ke dokter! Cepetan!" Benny yang tadi memarkirkan motornya di dekat rumah Dita bergegas menghidupkan motor. "Pake helm, kacanya turunin biar debu nggak masuk. Peganggan yang kuat." Allea menurut meskipun dia lebih memilih bersama Tifa yang mengantarkannya ke dokter.

"Dit, maaf ya bikin ulang tahun lo kacau. Nanti gue kasih kado ya," kata Allea yang merasa tidak enak kepada Dita. Dita hanya mengangguk sambil menatap kepergian Allea dan Benny yang mulai pergi. Teman-temannya yang lain memutuskan untuk menyudahi bermain dan mulai acara makan-makan bersama. Tiffany, atau yang biasa dipanggil Tifa merasa amat sangat cemas kepada sahabatnya, tetapi dia yakin Benny akan membawa Allea ke dokter yang tepat.

"Le, masih perih nggak mata lo?" tanya Benny saat mereka di lampu merah.

"Iya," jawabnya singkat. Allea malas berbicara panjang lebar.

"Maaf ya, gue keterlaluan kali ini." Benny benar-benar menyesal.

"Bisa juga lo bilang maaf," ejek Allea masih dengan nada malas.

"Lo kira gue jahat banget apa? Gue cemas liat lo tadi. Jujur gue nggak bohong. Gue merasa bersalah banget." Benny melihat Allea dari spion motor lagi. Ini kali pertama motornya dia izinkan untuk dinaiki oleh seorang perempuan. Bahkan Jelita yang menjadi kekasihnya saja belum pernah dia bonceng.

"Iyalah, justru aneh kalo lo nggak merasa bersalah. Mata gue nyaris buta!" Dari balik kaca spion Benny melihat Allea yang kesal. Dia terkekeh geli. Allea sudah bisa memarahinya berarti keadaannya sudah lebih baik. "Lagian lo aneh-aneh aja main begituan. Udah gede juga lo masih aja kayak bocah."

"Seru tau gangguin lo." Benny masih terkekeh geli.

"Gue aduin bokap lo ntar. Kelar idup lo."

"Kayak lo kenal aja sama bokap gue." Lampu merah masih tiga puluh detik lagi. Jam pulang sekolah dan jam selesai makan siang memang sangat padat jalanan di ibu kota. Untungnya tidak terlalu panas karena cukup mendung siang itu di sekitaran Jakarta.

"Kenal. Namanya Johan Nugros, istrinya Rosmala Wijaya, anaknya lo si titisan dajjal jelmaan jin Ifrit." Tawa Benny semakin keras. Beberapa pengendara motor menoleh kepadanya. "Ketawa lo, titisan dajjal jelmaan jin Ifrit?"

"Gila lo, Le! Harus banget ada titisan dajjal jelmaan jin Ifritnya?" Benny tertawa semakin keras. Motornya kembali berjalan untuk membawa Allea ke dokter mata yang merupakan sepupu Benny. Hanya itu dokter mata yang dia tahu dan bisa membayar nanti karena dia tidak membawa uang banyak.

"Iyalah harus! Lo nggak bisa dipisahin sama bangsa dedemit karena kelakuan lo aja kayak dedemit. Mereka aja minder deket lo karena kelakuan lo lebih dedemit dibanding mereka!" Benny kembali terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

"Kalo nggak inget gue punya salah, udah gue jatohin lo dari motor," komentar Benny sambil terus tertawa.

"Lo ini otak kriminal banget ya. Dih mau-mau aja ya si Jelita suka sama lo." Allea memegangi roknya yang tertiup angin. "Belum tau aja si Jelita lo jahilnya nggak tanggung-tanggung. Gue bilangin ntar ke dia ah."

"Gue kayaknya mau putus deh sama dia." Benny tiba-tiba bercerita kepada Allea. "Doi susah banget diajak jalan. Mana anaknya manja banget. Kalau nggak keluar sama bonyoknya, nggak keluar dia."

"Baru juga beberapa bulan udah bosenan lo. Kasian bener ya calon mantan pacar lo. Gue penasaran siapa lagi nih yang bakal jadi pacar lo. Kasian gue sama orangnya."

"Gue sebenernya naksir anak kelas kita." Pengakuan Benny mengejutkan Allea.

"Siapa?" Allea benar-benar penasaran.

"Ada deh. Lo nggak perlu tahu, kalau pun lo tahu itu juga nanti." Allea tidak tahu harus berkata apa dan dia hanya mampu diam menerima pengakuan Benny.

TBC...

ETERNITYWhere stories live. Discover now