Bab 2 - Awal Luka Semesta

130 12 1
                                    

Ketika Maharaja Sentanu naik takhta beberapa generasi kemudian, Gangga mewujudkan diri sebagai seorang manusia. Dewi Gangga nan mulia itu kini menjelma sebagai gadis fana jelita. Sang gadis tinggal di tepi Sungai Gangga. Kecantikan tiada tanding itu segera tampak, menggetarkan sukma.

Demikianlah kisah besar ini dibuka... dengan sebuah kisah sederhana mengenai cinta.

Gangga bertemu dengan Maharaja Sentanu saat Sang Raja sedang berjalan-jalan bersama para pengawal. Seperti yang sudah disuratkan, Sang Maharaja langsung jatuh cinta kepada Gangga. Aku melihat maharaja yang mabuk kepayang itu berkali-kali datang bersama iring-iringannya.

Lama sekali, dia duduk duduk hanya untuk menatap Gangga. Butuh keberanian besar bagi sang raja. Dia mondar-mandir sesaat, lalu baru mendekat untuk bertegur sapa.

Benih cinta mulai tumbuh. Tunas asmara berdaun lalu memekarkan bunga. Cinta tumbuh dengan manis menggetarkan. Mahar lamaran segera tiba ke Sungai Gangga.

Emas, perak, gulung-gulungan sari mewah, semua dipersembahkan Sentanu untuk Gangga. Aku mendengar suara musik yang dimainkan di antara iring-iringan itu. Gangga tersenyum hingga pipinya memerah. Rayuan manis segera terucap dari bibir Raja Sentanu.

"Jadilah istriku, duhai perempuan yang kecantikannya setara dengan Dewi Gangga," demikian raja itu berucap, "Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan. kerajaanku. Seluruh hartaku. Bahkan nyawaku."

Gangga tersenyum mendengar rayuan dari Sang Maharaja. Dia menatap seluruh hadiah dari Maharaja Sentanu. Tentu, sang raja tak tahu, bagi Gangga, semua hadiah ini hanya merupakan benda-benda duniawi. Tak berharga.

"Sebenarnya, aku tidak menginginkan semua ini, Maharaja Sentanu," jawab Gangga untuk lamaran itu, "Aku bersedia menjadi istrimu. Tapi hendaklah kau mengingat syarat-syarat dariku ini."

"Syarat apakah itu, Dewiku?" Raja Sentanu agak bingung dengan jawaban Gangga.

"Dengarkan ini, Maharaja Sentanu. Aku akan mendampingimu, tapi, baik engkau atau orang lain, tak boleh menanyakan siapa aku dan dari mana asalku."

"Itu hal yang mudah."

Gangga memamerkan senyum memikatnya. Wajah Raja Sentanu seketika memerah, semakin antusias memboyong calon permaisurinya.

Gangga pun melanjutkan, "Kau tak boleh marah kepadaku, apa pun alasannya. Kau tak boleh mengatakan sesuatu yang membuatku sedih."

Raja Sentanu mengangguk menyatakan kesanggupan.

"Satu hal yang terpenting, Maharaja. Kau tak boleh melarangku melakukan apa pun. Tak boleh mengomentari apakah tindakanku itu baik atau buruk," rahang Gangga mengeras saat dia mengatakan hal ini, "Saat kau melanggar satu saja dari semua syarat-syaratku tadi, maka saat itu pula... aku akan meninggalkanmu."

Maharaja Sentanu sempat mengernyitkan alis mendengar perkataan Gangga. Namun, dia mengangguk dengan ragu-ragu.

"Demi cintaku kepadamu, aku akan melaksanakan apa pun persyaratanmu," Maharaja Sentanu berkata, berusaha meyakinkan Gangga, "Iring-iringan pengantin akan segera datang. Bersiaplah, Dewiku ... kau akan menjadi Maharani tercantik di Hastinapura."

***

Gangga memanggilku setelah iring-iringan lamaran itu pergi dari kediamannya. Rasa penasaran membuatku segera mewujud lalu bergerak untuk menyentuh sebuah anting bertahtakan berlian dan batu ratna. Sinar permata-permata itu sungguh mengagumkan, menggoda orang untuk memiliki.

Anda akan menjadi pengantin yang cantik, Ibu, aku menulis lalu memperlihatkannya pada Gangga.

Gangga menyentuh salah satu kalung susun penuh permata. Senyuman Gangga terlihat miris. Dia menatapku sejenak, lalu mulai berkata dengan nada resah, "Tak heran Kakak Saraswati mengatakan kalau keinginan hanya membuat kita semakin fana. Kadang-kadang, mengetahui suratan takdir padahal ikut terseret di dalamnya sungguh membuatku terasa tersiksa."

Gangga menepuk bahuku perlahan-lahan, "Ingat-ingatlah pesan Kak Saraswati, Putriku." Dia memelukku selama beberapa saat. Aku merasakan kesedihannya bergulung-gulung bagai gelombang di sungainya.

"Jagalah Sungai Gangga selama aku pergi," dia berkata, "Aku akan kembali saat Maharaja Sentanu melanggar janji."

***

Gangga pergi dijemput sebuah tandu berkilau-kilau. Iring-iringan pengantin mengenakan pakaian berwarna-warni mengilap. Terompet dan berbagai alat musik memainkan musik meriah. Seumur hidupku, aku belum pernah melihat iring-iringan pengantin semegah ini.

Saat itu, aku sama sekali tidak mengerti apa maksud perkataan Gangga. Raja Sentanu yang begitu mencintai Gangga. Raja Sentanu yang menjanjikan segalanya untuk Gangga. Apakah raja yang sama akan sanggup melanggar janjinya?

Cinta mungkin hanyalah perasaan semu. Begitu pula dengan segala yang terjadi di dunia fana ini. Salah dan benar kadang-kadang sangat samar. Permainan para dewa sungguhlah tak mungkin dimengerti manusia.

Setahun telah berlalu.

Gangga mulai menenggelamkan bayi pertamanya ke dalam sungai. Setelah itu, setiap tahun... Gangga datang, mengulangi apa yang dia lakukan. Tahun ini, satu bayi mati. Tahun depan, menyusul bayi lain.

Terus ... dan terus. Kejadiannya terus berulang.

Maharaja Sentanu mengetahui tindakan Gangga di tahun ketiga. Sekitar empat kali, aku melihatnya memandang Gangga dari kejauhan. Tangannya mengepal. Dia melangkah ragu-ragu ... lalu berhenti. Selalu begitu. Tiap tahun, Sang Maharaja melangkah, lalu berhenti. Namun, lama-kelamaan jarak pemberhentiannya semakin dekat dengan Gangga. Kemarahan Maharaja semakin memuncak. Dia adalah seorang ayah. Tentulah, Raja Sentanu tak terima anaknya mati begitu saja.

Di tahun ke delapan, aku melihat Maharaja Sentanu akhirnya berdiri di sebelah Gangga. Kemarahan berkobar-kobar di dalam matanya. Kalimat demi kalimat pedas meluncur begitu saja dari mulut Sang Maharaja. Dia mengatakan Gangga ibu yang keji dan sadis. Sederet kata-kata yang memerahkan telinga terdengar begitu keras. Saat Gangga membuka jati dirinya, barulah aku melihat Maharaja Sentanu terkesima dengan wajah begitu pucat.

Aku melihat Gangga datang dengan wajah lega, sekaligus murung. Tugasnya telah selesai. Di tangannya saat itu, tergenggam seorang bayi laki-laki yang sangat gagah.

"Aku tidak tahu, apakah harus kasihan atau bahagia pada anak ini," saat itu Gangga berkata, "Dewabrata. Anakku yang akan menjadi kesatria masyhur. Sejarah akan mengingatnya sebagai pahlawan."

Kalau begitu, mungkin seharusnya anda berbahagia, tulisku.

Ada kilat luka yang membuat senyuman Gangga terlihat sedih. Aku agak heran melihat sikapnya. Dia menggendong bayi sambil mendendangkan nada yang begitu sendu.

Ada apa, Ibu? Tanyaku.

"Aku hanya sedang memikirkan Maharaja Sentanu," katanya dengan nada bersedih.

Karena dia akan bersedih atas kepergian ibu?

Gangga menggeleng, "Tidak, Putriku... aku hanya bersedih kalau memikirkan, kata-kata yang dia gunakan untuk melamarku ... akan dia gunakan lagi untuk melamar wanita lain."

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now