Bab 6 - Srikandi dan Drupadi

123 12 1
                                    

Perang pertama yang kusaksikan adalah perang yang dicetuskan Resi Drona. Saat itu, Raja Drupada menurunkan serdadu-serdadu tertangguh untuk melawan 105 pangeran dari Hastinapura. Panah berhamburan di udara. Langkah para gajah menggetarkan bumi. Kuda-kuda berderap di tengah debu tebal. Para prajurit berlaga di tengah arena yang semakin banjir darah.

Disertai laskar perang mereka, 105 murid Drona itu sungguhlah sulit dilawan. Medan perang menjadi begitu berat bagi prajurit-prajurit Raja Drupada. Mendadak, mereka bagai serangga yang tengah melawan raksasa, melawan habis-habisan, tapi, hanya berakhir sia-sia.

Srikandi memandang pertempuran itu dari istananya. Aku berdiri di sebelahnya, sama-sama menanti aba-aba dari Raja Drupada.

Sedari awal perang, Srikandi sebenarnya sangat merindukan perintah turun perang. Sayangnya, perintah itu tak pernah diturunkan. Kami hanya bisa melihat situasi perang dari ketinggian istana Srikandi. Berdua, kami memerhatikan semua taktik perang, sambil membahasnya seakan-akan kami memang berada di sana.

"Ada peraturan perang yang melarang para lelaki menyerang para wanita," kata Srikandi, "Ayah melarangku ikut karena peraturan itu. Padahal, Supriya... aku telah bisa memanah dengan baik saat aku berumur sepuluh tahun. Aku berhasil menguasai teknik perang beberapa tahun kemudian. Kukira, itu sudah cukup untuk membuatku menjadi pahlawan."

Aku memainkan lagu-lagu bernada riang dari sitarku untuk Srikandi. Sebaliknya, Srikandi membalas dengan menjelaskan semua peraturan perang yang dia kuasai. Itu adalah hiburan bagi kami, di tengah duka masing-masing.

"Tahukah kau, kalau astra-astra illahi itu sangatlah kuat?" Suatu kali, Srikandi mengatakan hal itu kepadaku, "Senjata-senjata itu bisa menghancurkan musuh semudah kau meniup debu. Tidak semua kesatria bisa memilikinya. Pangeran-pangeran itu, Supriya... mereka memiliki astra-astra illahi. Aku khawatir, ayah akan sangat kewalahan kali ini."

Srikandi menunjuk arena pertempuran. Dengan ajna, aku melihat seseorang tengah menarik tali busurnya. Wajahnya—entah mengapa malah mengingatkanku akan Karna. Beberapa bagian tegas dan kokoh wajahnya sungguh-sungguh mirip dengan sobat kecilku itu. Bahkan, senjatanya mengingatkan aku akan kejadian beberapa tahun lalu, saat Karna membelokkan panah agar tidak menyakitiku.

Arjuna.

Suara ilahi Saraswati dalam diriku berbisik. Jadi, dialah putra Dewa Indra—sang dewa perang. Kesatria paling hebat di dunia.

Arjuna.

Dalam pakaian perangnya, dia terlihat begitu perkasa. Tubuhnya tegap dan ramping, lincah bergerak ke sana sini. Gerakan-gerakannya indah, seolah membentuk simfoni dengan busur dan panahnya.

Aku mendesah memendam kegelisahanku. Kulihat Arjuna mengarahkan panahnya ke kereta Raja Drupada. Beberapa kali, Raja Drupada menangkis serangan itu. Beberapa kali pula dia membuat pelindung, menyerang... namun semua usahanya menjadi sia-sia di tangan Arjuna.

Di satu kesempatan, Arjuna berhasil memaksa Raja Drupada turun dari kereta. Kini mereka bertarung dengan pedang. Aku melihat kilatan pedang mulai berayun dan beradu. Raja Drupada mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam melawan murid Resi Drona itu. Namun, kembali... satu tebasan dari pedang Arjuna melontarkan pedang Raja Drupada. Sedetik kemudian, saat Raja Drupada telah benar-benar lemah, Arjuna mengarahkan pedangnya ke leher Sang Raja.

Kekalahan Panchala mengakhiri perang itu. Dengan segera, sangkakala dibunyikan. Bendera Hastinapura pun berkibar dengan gagah berani.

Srikandi menundukkan wajahnya, memendam rasa geram karena tidak dilibatkan. Saat kami dikumpulkan di balairung agung, saat itulah, kami tahu.

Skenario mimpi buruk kami akan segera dimulai ....

***

Raja Drupada terikat dan berlutut di bawah singgasana. Sementara di atas takhta, Drona dan Aswatama—putranya, berdiri menikmati kemenangan mereka.

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now