Bab 5 - Duka Gangga

87 11 0
                                    

Aku hendak mengatakan soal ramalan Saraswati itu kepada Gangga. Namun, saat aku kembali, Gangga tampak bersedih. Dia menyusut hidungnya berkali-kali, tidak mengatakan sepatah kata pun. Padahal, saat itu orang-orang tengah melakukan upacara di tepi sungainya.

Mengapa ibu bersedih seperti ini? aku bertanya kepada Gangga. Alih-alih menjawab, wajah Gangga malah semakin muram. Aku berkali-kali menanyainya, namun Gangga tidak menjawab.

"Jangan pernah melanggar batasmu, Putriku," katanya saat itu. Hari demi hari dukanya bertambah dalam hingga sungai sering bergolak. Akhirnya, di satu hari, aku memulai pelanggaranku.

Dari Yamuna, aku mendapat kabar, kalau Gangga berubah semenjak dia mengunjungi suatu negeri bernama Panchala. Tanpa memberitahu Gangga, aku menampakkan diri, lalu membaur bersama para pelayan kerajaan.

Suara dewata dalam diriku memperingatkan dengan keras, namun aku mulai tidak peduli. Sudah terlalu banyak kejadian yang kudiamkan. Ketika Gangga menghanyutkan bayi-bayinya, aku diam. Ketika Satyawati meminta takhta yang seharusnya menjadi milik putra Gangga, aku diam. Begitu juga ketika aku menyaksikan kejadian-kejadian lain. Kelahiran para Korawa yang membuat langit guncang, kematian Pandu, semua hal-hal menyedihkan terus terjadi, dan aku hanya menerimanya tanpa mengeluh.

Srikandi.

Akhirnya aku melihat gadis itu. Dengan menggunakan kekuatanku, aku mengetahui kalau Srikandi adalah titisan Amba, kakak Ambika dan Ambalika. Sakit hatinya kepada Bisma membuat Amba berusaha menuntut balas dengan cara apa pun. Amba kemudian terjun ke dalam api. Mati dengan membawa dendam membara di dalam hatinya.

Inilah penyebab Gangga berduka. Seorang perempuan yang tapa bratanya berhasil menggugah hati Dewa Siwa. Titisan Amba yang nanti akan membunuh putra Gangga.

Mulai sekarang, aku tidak akan diam.

Aku mendekati Srikandi, membawakan air untuknya minum. Pandangan matanya terasa menusuk ketika memandangku. Pantas saja, para pelayan selalu ketakutan ketika melayaninya. Aku mendengar beberapa orang membicarakan keanehannya mengenakan pakaian laki-laki. Namun, mereka hanya berani membicarakan hal itu di belakang Srikandi.

"Kau pelayan baru di sini?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. Tatapannya padaku tidak berubah. Dia meneguk air dalam tenggakan besar-besar, persis sikap seorang lelaki.

"Mengapa kau sama sekali tidak mengeluarkan suara?"

Aku mengeluarkan alat tulisku, menjelaskan keadaanku yang tak bisa bicara. Dia mengembuskan napas beberapa kali.

Seseorang yang mampu membaca dan menulis, tapi, tidak bisa bicara. Seorang perempuan pula, Srikandi mulai menebak-nebak. Wajah kerasnya kini diliputi empati.

Binar matanya melembut. Srikandi menaruh busur, lalu memerintahkan pelayan lain menyiapkan air mandinya. Dia lalu memandangku, "Kau tidak takut denganku?"

Aku menggeleng. Srikandi melepaskan kain di atas kepala. Dia menyerahkan kain itu kepadaku. Dengan sedih, dia memandang istana besar di seberang kami. Itu adalah kediaman Raja Drupada, ayah Srikandi.

"Siapa namamu, Pelayan?"

Aku tercenung dengan pertanyaan itu. Ingat dengan jelas kalau Saraswati mengatakan nama hanya akan mengikatku dengan keinginan. Aku masih bingung saat Srikandi mendekatiku. Pertanyaan yang sama kini dilontarkan dengan nada lebih tak sabaran.

Saya tidak memiliki nama, kataku jujur.

Srikandi tertawa mendengarnya, "Apa orang tuamu begitu tak mengacuhkanmu hingga kau tidak memiliki nama?" katanya sambil terbahak-bahak. Setelah puas tertawa, Srikandi memelukku erat-erat. Tangisannya begitu memilukan hingga aku pun ikut menangis.

"Oh, pelayan... apakah memang nasib perempuan memang untuk tak diacuhkan?" dia berkata di sela isak tangis, "Mulai sekarang, jadilah pelayanku. Aku menamakanmu: Supriya."

***

Mungkin seharusnya, aku menuruti Gangga untuk tidak melewati batas. Mungkin seharusnya, aku tidak membiarkan Srikandi memberiku sebuah nama. Karena memang, nama itu adalah sebuah ikatan. Aku kini terikat pada Panchala. Terikat pada identitas Supriya—pelayan yang lama kelamaan menjalin persahabatan dengan Srikandi.

Aku baru mengetahui, kalau kebiasaannya memang memakai pakaian laki-laki. Sedikit banyak, kebiasaan aneh ini dipengaruhi oleh ayahnya, Raja Drupada. Sang Raja terlalu menginginkan seorang putra. Karena hanya seorang putra yang bisa meneruskan kekuasaannya.

Sakit hati Srikandi juga bertambah oleh kebencian yang dia sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada yang menyebutkan tentang Hastinapura, Srikandi langsung ingin marah. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat Srikandi membenci Bisma, penasihat agung Hastinapura.

"Di tiap mimpiku, aku selalu bermimpi bisa membunuhnya, Supriya," demikian dia kerap berkata di pagi hari, "Aku heran... mengapa aku bisa begitu membencinya."

Aku meraih alat tulisku lalu menuliskan sesuatu di sana.

Rasa benci tidak akan menghasilkan sesuatu yang lain selain dendam dan sakit hati.

Srikandi selalu tertawa saat membaca tulisan itu. Dia tidak tahu bahwa setiap kali aku menuliskannya, aku berharap Amba di dalam Srikandi bisa melupakan dendamnya terhadap Bisma.

Namun dendam adalah sebuah dendam. Aku semakin tenggelam dalam permainan yang dibentuk sedari awal. Permainan yang dipupuk dan disirami dengan berbagai dendam dan pembalasan.

Legenda Negeri BharataKde žijí příběhy. Začni objevovat