Bab 10 - Karena Status adalah Segalanya

98 12 0
                                    

Drupadi sempat menanyakan mengapa wajahku muram keesokan harinya. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku hanya diam ketika dia memintaku membantu memilihkan sari untuknya. Drupadi ingin sebuah sari yang warnanya mirip bulu merak. Dengan riang, dia memberitahukan kalau bulu merak mengingatkannya akan Krisna. Dan dia ingin menghormati kedatangan Krisna hari itu dengan pakaian yang sesuai.

Hubungan Drupadi dengan Krisna dimulai saat putri Panchala itu menyobekkan sarinya untuk membalut luka di tangan Krisna. Sejak itu, Krisna sering datang ke Panchala untuk berbincang-bincang dengan Drupada.

Drupadi sendiri menganggap Krisna sebagai kakak, guru, dan dewa. Tiap malam, dia menyenandungkan nama Krisna untuk mengundang mimpi indah. Setiap hari dia menunggu hari kunjungan Krisna, hanya sekadar untuk bercakap-cakap dengan Raja dari Dwaraka itu.

Ada sesuatu di dalam Krisna yang membuatnya begitu menarik di mata semua orang. Sama seperti Drupadi, dia memiliki kulit gelap kebiruan. Tiap langkahnya berirama tenang. Saat suara serulingnya bergema di istana, burung-burung ikut bernyanyi bersamanya. Kegembiraan seolah menjadi bayangannya. Sementara keagungan menjelma sebagai mahkota di kepalanya.

Ada kabar bahwa Raja Dwaraka itu menjaga sekitar enam belas ribu wanita sebagai istrinya. Sebagian merupakan tawanan perang yang dia selamatkan kehormatannya, sebagian lagi datang kepadanya meminta pertolongan. Misalnya saja, Putri Rukmini yang tak sungkan menuliskan surat cinta, meminta Krisna menyelamatkannya dengan sebuah pernikahan.

Krisna baru menyadari kehadiranku ketika aku beberapa kali mendampingi Drupadi menemuinya. Dia tampak mengernyit, tahu kalau kami sama-sama mengenal satu sama lain. Ya, bagaimana mungkin Krisna bisa tidak tahu? Banyak yang bilang, beliau adalah titisan dewa. Kebijaksanaan dan kesaktiannya hingga saat ini tidak ada yang menandingi.

"Apakah ini pelayanmu?" kata Krisna sambil menunjukku dengan dagunya.

"Benar. Namanya Supriya."

"Supriya?" Krisna mengangkat satu alisnya, "Bagaimana dia bisa ada di sini?"

"Supriya bekas pelayan kakakku," jelas Drupadi, "Dia cerdas. Bisa menulis. Pandai bermain sitar. Sungguh kasihan, kekuranganya membuat Supriya hanya bisa menjadi pelayan."

Pandangan Krisna tampak menelitiku.

"Supriya ini bisu. Tak bisa bicara."

Senyuman Krisna tampak puas mendengar penjelasan Drupadi. Kilat licik terlihat di matanya walau dia berkata dengan nada bercanda.

"Bagaimana kalau kau biarkan dia ke Dwaraka? Aku yakin... di sana pelayanmu ini akan mendapatkan perlakuan yang lebih adil."

"Misalnya jadi istrimu?" gerutu Drupadi, "Enak saja! Dengan istri-istrimu yang sekarang saja, sudah membuatmu kewalahan hingga jarang kemari!"

Krisna tertawa saat Drupadi melengkungkan bibir untuk memprotes.

"Apa kau tahu, kalau beberapa minggu lalu di Hastinapura, seseorang datang membuat kekacauan?"

Kekacauan adalah kata yang sering membuat Drupadi tertarik. Seketika, dia mendekat kepada Krisna lalu menatap Krisna dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

"Hastinapura mengadakan sebuah pertandingan untuk menentukan putra mahkota," kata Krisna, "Dan ternyata... sampai sekarang tidak ada pemenangnya."

"Kenapa bisa begitu?"

Krisna menggeleng-geleng. Sudut matanya melirikku, entah mengapa aku merasa tertusuk oleh pandangan itu.

"Sudah kubilang, kan... ada yang mengacau," Krisna berdecak, "Yang memalukan, dia itu seorang sutaputra. Anak kusir yang bermimpi menjadi kesatria."

"Mengapa anak kusir tidak bisa menjadi kesatria?" tanya Drupadi dengan nada menggebu-gebu, "Bukankah anak gembala saja bisa jadi raja?"

"Kau berniat menyindirku?"

Drupadi menyeringai lucu, "Jangan marah ... katakan apa yang terjadi saat itu."

"Pertandingan terakhir menyisakan Duryodhana dan Arjuna." Krisna bercerita dengan gaya seorang pencerita yang lihai, "Duryodhana telah hampir kalah saat sebatang anak panah melesat dari arah gerbang. Lalu anak kusir itu muncul. Karna..."

Pandangan menusuk Krisna kembali menyerangku. Mendengar nama Karna terasa membekukan seluruh syaraf di tubuhku.

"Saat dia datang, mendadak awan-awan gelap menyelubungi arena, diselingi petir yang menyambar-nyambar. Semua tak bisa berkonsentrasi memerhatikan..." Krisna melanjutkan, "Lalu dalam sekejap, datang seberkas sinar, menghalau awan-awan itu pergi. Semua orang menahan napas saking kagumnya. Saat itu Ratu Kunti, istri mendiang Raja Pandu, pingsan di tempat," terang Krisna.

Jantungku rasanya melompat mendengar perkataan Krisna. Apakah itu sambutan dari alam bagi Dewa Indra dan Dewa Surya? Bagaimana pun, Karna dan Arjuna adalah putra-putra mereka.

"Karna menantang Arjuna secara langsung," cerita Krisna membuyarkan lamunanku.

"Prosedur kemudian memaksa Karna memperkenalkan asal-usulnya. Ksatria yang tampak sangat gagah itu, ternyata hanya putra seorang kusir bernama Adirata."

Krisna mendekatiku, lalu berputar mengelilingiku sebelum kembali pada Drupadi. Kilat licik itu belum menghilang dari wajahnya, yang herannya tampak sangat gembira.

"Kemeriahan pertandingan akhirnya berganti kemeriahan sorak sorai orang-orang yang menertawakan Karna. Bima adalah yang paling bersemangat mengejek Karna. Dia mengatakan kalau seorang sutaputra sungguh tak pantas menantang kesatria terhebat di dunia."

"K—kesatria terhebat?" mata Drupadi semakin bersinar-sinar, "Arjunakah itu?"

"Iya, dia kesatria yang dulu membantu Drona menaklukkan Panchala," kata Krisna sambil mengulum senyum. Senang melihat kekaguman dalam sorot mata Drupadi.

"Dia tampan sekali, Drupadi. Aku yakin, sekali lihat ... kau akan langsung jatuh cinta. Baik ilmu maupun kesaktian, tidak ada yang menandingi di dunia ini. Dia bisa mengubah mendatangkan air dengan panahnya. Mengundang awan, mendatangkan petir ..."

Aku menelan ludah. Ingin sekali mendebat Krisna. Namun Drupadi sendiri sudah sangat terpikat oleh cerita itu.

"Lalu, apa yang terjadi?"

Krisna menaikkan alisnya lagi. Dia berdehem dua kali sebelum melanjutkan bercerita dengan gaya seorang narator lihai.

"Karna berdiri di tengah arena, dipermalukan habis-habisan. Saat itulah ... Duryodhana mengulurkan tangan pada Karna, menawarkan persahabatan."

Duryodhana? Jantungku terasa diremas mendengar nama itu. Persahabatan dengan lambang kejahatan. Ucapan Parasurama mendadak terngiang kembali di telingaku.

"Duryodhana memohon kepada ayahnya untuk memberikan Angga kepada Karna," Krisna merentangkan tangan lalu bersiul, "Kau tahu, kan? Raja Drestarasta selalu menuruti kemauan anaknya, meski anaknya itu meminta hal yang tak masuk akal."

Krisna kembali memandangku, kali ini dengan sorot mata sarat ejekan, "Upacara penobatan disiapkan dengan segera. Wuush! Dalam sekejap, sutaputra itu berubah menjadi seorang raja. "

Krisna membiarkan keheningan menjadi jeda pembicaraan. Drupadi terus menatapnya dengan pandangan ingin tahu, sementara hatiku mulai berdebar tidak karuan, mendengar cerita pertarungan Arjuna dan Karna.

"Lalu mereka bertarung? Siapa pemenangnya?" Drupadi akhirnya tak tahan untuk menyuarakan keingin tahuannya.

Lagi-lagi Krisna mengulum senyum. Dia melirikku sejenak, seakan-akan memintaku bicara, namun saat itu aku sama ingin tahunya dengan Drupadi. Aku terlalu gugup hingga tak bisa menggunakan ajna.

"Katakanlah, aku benar-benar penasaran!"

Senyuman Krisna makin lebar saat dia menatap kami bergantian, "Kau ingin tahu apa yang terjadi setelahnya?"

Drupadi mengangguk penuh semangat.

"Tidak ada," jawab Krisna tenang, "Aku belum menanyakan hal ini lebih lanjut pada adikku. Dia yang melihat pertandingan itu secara langsung."

Drupadi langsung mengerang kesal mendengar jawaban itu.

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now