Bab 9 - Nila Setitik Merusak Susu Sebelanga

88 10 0
                                    

Kefanaan membuatku sulit menghilangkan wujud. Aku mulai frustasi, berkali-kali merapal mantra hanya untuk melebur bersama udara dan cahaya. Memerlukan waktu yang lama sebelum aku akhirnya bisa melayang lalu terbang meninggalkan Panchala, mencari jejak Karna.

Aku tahu, kutukan itu telah dijatuhkan kepadanya. Air mataku berlinang ketika aku akhirnya mendarat di pertapaan Begawan Parasurama. Ya, aku terlalu pengecut hingga tak berani berhadapan dengan Karna. Bagaimana jika nanti aku merasakan emosi-emosi lain? Aku takut, perasaanku akan semakin membesar. Jika itu terjadi, apa yang bisa aku lakukan?

Aku bersimpuh dan menangis di bawah batu yang kini menjadi tempat pertapaan Begawan Parasurama. Salah satu kaum abadi itu duduk sambil menggenggam kapak di salah satu tangannya. Bagi sebagian besar orang, karisma wajahnya sangat cukup membuat kaki gemetar karena ketakutan.

"Ada keperluan apa hingga kau datang ke mari, Dewi?"

Aku terkejut karena Begawan Parasurama rupanya terganggu dengan isakanku.

Maafkan saya, Begawan, aku berkata dalam sebuah telepati, Entah mengapa, belakangan ini saya merasa resah. Hal ini membuat saya menderita.

Begawan Parasurama membuka matanya sejenak. Dia melihatku melalui ajna-nya. Dengan segera, dia menggeleng, lalu mendesah, seakan menyuarakan siksa dalam hatiku. Dia tahu siapa aku. Dan isi hatiku dengan mudah dapat terlihat olehnya.

"Dewi, berhentilah sebelum kau makin terjerumus," Parasurama berkata dengan nada bersimpati, "Tetaplah di luar batas. Jangan pernah melakukan sesuatu yang akan mencelakakanmu."

Isakanku tak kunjung berhenti. Wujud fanaku akhirnya terlihat di hadapan Parasurama, mengenakan pakaian pelayan kerajaan Panchala.

Parasurama berdiri lalu mendekat kepadaku. Aku menyentuh kakinya, berusaha meredakan tangis yang semakin kencang.

"Karna menahan gigitan peta kalajengking, hanya untuk mencegah saat-saat tidur siangku terganggu," kata Parasurama akhirnya, "Itulah yang membuatku tahu identitas aslinya."

Aku menghela napas. Tak tahu harus mengatakan apa.

"Apakah kau berpikir aku melakukannya karena murka?"

Aku menunduk saat tatapan Parasurama jatuh padaku.

"Di satu sisi, baktinya sebagai murid sangatlah membanggakan. Namun di sisi lain, dustanya mengaku sebagai seorang dari Wangsa Brahmana tidak bisa dimaafkan."

Dengan kesaktiannya, Parasurama memunculkan sebuah mangkuk emas. Dia mengisi setengahnya dengan air, lalu memerlihatkan mangkuk itu kepadaku.

"Apakah mangkuk ini setengah kosong, atau setengah berisi?"

Dia memandangku sejenak, lalu menggeleng lagi. Parasurama menuangkan air itu ke atas tanah... seketika mengubah air menjadi seekor peta kalajengking.

Mulutku terbuka saat melihat peristiwa itu. Parasurama memandang kalajengking dengan capit dan ekor bercahaya itu.

"Satu kebohongan akan berlanjut dengan kebohongan-kebohongan lain," Parasurama menarik napas, "Kau harus mengingatnya, Dewi."

Aku memberi sebuah anggukan kecil, masih takut melihat kesaktiannya.

"Apakah kau tahu, mengapa aku membenci Wangsa Ksatriya?"

Di zaman anda, Wangsa Ksatriya berlaku semena-mena, aku menuliskan kalimat itu.

"Tapi zamanku telah selesai," Parasurama memandangku, kali ini dengan pandangan sedih, "Jika kau masih bebas, mengapa harus menjebak diri dalam sebuah belenggu?" pandangan Parasurama kini menyusuriku dari ujung rambut. Seulas senyuman terulas di bibirnya, saat dia melihat berkat Dewa Surya.

"Aku memberi kutukan itu sebagai sebuah pelajaran kepada muridku," Parasurama berkata dengan nada bijak, "Kebohongan adalah kejahatan. Apa pun alasannya. Jika kau pikir hatiku ini tak bisa melembut, kau salah... Hati kadang bisa mengeras, namun kadang bisa melunak. Aku pernah mengampuni Rama, putra Dasarata. Aku juga mungkin akan bersimpati jika Karna mengatakan kebenaran..."

Sebuah desahan kembali terdengar dari Parasurama, "Sayangnya, semua telah terjadi. Takdir para dewa telah berjalan. Dan kutukanku, bukan satu-satunya hal yang akan menghancurkan Karna. Hal yang akan menjadi penghancur utama bagi Karna hanyalah: prinsipnya sendiri."

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now