Bab 7 - Tersayang dan Termalang

96 10 0
                                    

Kehadiran Drestayumna lama kelamaan mulai mengusik Srikandi. Drupada memanjakan Drestayumna sebagai anugerah dewa yang akan membalaskan dendam. Pangeran itu memperoleh fasilitas-fasilitas terbaik, pengajaran-pengajaran terbaik. Dan yang terpenting, hanya dia yang berhasil mendatangkan senyuman di wajah Drupada.

Drupadi sendiri, ditempatkan dalam sebuah istana khusus dengan bunga-bunga menghias setiap sudut. Tidak ada seorang pun anggota kerajaan, para selir, atau saudara-saudara yang berani mengusik Drupadi. Drupada seolah membuatkan dunia kecil untuk Drupadi. Seakan-akan, dia sedang menjauhkan Drupadi dari orang lain, terutama menjauhkan Drupadi dari Drupada sendiri.

Hari demi hari berlalu. Istana saat itu dipenuhi oleh semangat balas dendam. Setiap hari latihan perang diadakan. Drestayumna dilatih dengan keras. Dengan tegas, Drupada memerintahkan putranya itu untuk mencari kesaktian yang dapat memusnahkan musuh.

Sementara itu, Srikandi juga mulai menyimpan rasa terhadap Arjuna. Kerapkali, kudengar dia mendeklamasikan syair tentang Arjuna. Arjuna yang gagah berani. Arjuna yang seolah membawa awan mempesona. Arjuna yang kilat matanya menggetarkan hati.

"Entah mengapa, aku merasa... jika aku mengikuti dia, tujuanku akan segera tercapai," katanya saat itu. Aku sempat bingung, karena saat mengatakan hal demikian, alih-alih mengambil busur, Srikandi malah menyuruhku memilih sari dan perhiasan terbaik untuk dia kenakan.

"Ingin sekali aku menyaksikan pangeran itu beraksi langsung di medan perang," Srikandi memegang sehelai sari keunguan yang sangat indah. Dia memberi tanda agar aku memakaikan sari itu di badannya.

"Ah, ternyata aku juga cocok mengenakan pakaian wanita," Srikandi terkikik melihat penampilannya di cermin. Dia berputar beberapa saat, menanyakan pendapatku. Sementara aku hanya bisa membalas dengan mengangguk dan tersenyum.

"Ini penyamaran yang pas, kan?"

Aku bengong saking bingungnya. Srikandi tertawa. Dengan segera dia menarikku mendekat, lalu berbisik di telingaku.

"Jangan katakan apa pun kepada siapa pun, Supriya," katanya riang, "Sekali kau mengatakannya, aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Anda berniat kabur dari istana? Tanyaku buru-buru. Srikandi langsung mendelik saat membaca pertanyaanku.

"Aku ingin belajar memanah dari Pangeran Arjuna," kata Srikandi, tanpa berusaha menyembunyikan senyuman, "Selama aku pergi, kau jaga Drupadi saja. Kupikir, kesepiannya tidak akan jauh berbeda denganku."

Keningku berkerut karena bingung. Bukankah Drupadi lahir sebagai anugerah para dewa? Mengapa Drupada harus mengabaikannya?

"Aku sering mengunjungi Drupadi, secara diam-diam," Srikandi berkata sambil memutar-mutar ujung sarinya, "Dia juga kesepian. Tidak ada pelayan yang berani mendekatinya. Sementara para pengawal yang mendekatinya, selalu berakhir di tiang hukuman.

Tiang hukuman? Mengapa? Aku bertanya.

"Ayah menghukum mereka semua karena mereka berani mengintip Drupadi di ruang pribadinya," Srikandi mendesah, "Beberapa pangeran yang datang berkunjung langsung mengajukan lamaran. Ayah sampai kewalahan karena beberapa kali pula terjadi konflik saat ayah menolak."

Aku dan Srikandi menggeleng secara bersamaan. Ketika kami menyadari hal itu, kami langsung tertawa.

"Rasanya, setiap lelaki yang ada di dekatnya langsung akan goyah iman. Beberapa pelayan bahkan dengan lancang menyebut, satu lirikan Putri Drupadi membuat siapa pun terjerat pesona."

Itu seharusnya sebuah anugerah, kan? Kupikir, semua wanita mendambakan kecantikan seperti itu, tulisku.

"Aih, Supriya," Srikandi menopangkan dagu. Aku melihat bagian Amba dari dirinya sempat keluar saat itu. Matanya berkaca-kaca, tanpa dia sadari... mengenang Raja Salwa yang pernah dia cintai namun menolaknya mentah-mentah demi sebuah harga diri.

"Pergilah kepada Bisma," kata Raja Salwa saat itu, "Dia yang telah memenangkanmu. Aku tidak pernah akan sudi menikahi gadis yang telah dimenangkan dariku. Itu adalah sebuah penghinaan yang besar!"

"Apakah kau tahu, Supriya? Mengapa kadang-kadang aku memikirkan nama Bisma ketika aku merasa bahwa aku ini sebenarnya seorang wanita?" Srikandi berkata sambil memandang langit di kejauhan, "Saat itu, hatiku akan terasa terbakar. Dan aku merasa hancur oleh keinginanku melihatnya merasakan kekalahan."

Baru saja, aku ingin menuliskan kalimat pamungkasku, Srikandi lebih dahulu tertawa dan menyuarakannya.

"Kebencian hanya akan mendatangkan dendam dan sakit hati." Dia berkata sambil mengertakkan giginya. Air mata perlahan-lahan jatuh membasahi pipinya, berubah menjadi sebuah tangisan yang memilukan.

Malam itu, Srikandi memutuskan meninggalkan kerajaan. Ketika Drupada mengetahui hal itu, dia hanya memerintahkan kepala pelayan menjatuhkan hukuman cambuk kepadaku. Dia hanya membentakku karena telah lalai menjaga Srikandi. Tidak ada satu kalimat, bahkan satu kata pun yang menggambarkan rasa kehilangan.

Drupada bahkan tak berniat mencari Srikandi. Dalam sekejap, nama Srikandi di dalam istana mulai terlupakan oleh semua orang.

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now