Bab 15 - Nasihat Gangga

62 10 0
                                    

Kasih sayang Karna kepada Kunti membuatku merindukan Gangga. Tanpa menunggu lagi, aku segera datang ke sungai, meminta Gangga membukakan pintu untukku. Aku menyentuh kakinya, lalu bersimpuh dan minta maaf. Penyesalan membuatku terus menitikkan air mata.

Aku masih berpikir, kalau Gangga akan marah kepadaku. Dia berhak marah akan semua yang kulakukan. Aku meninggalkannya, juga melakukan hal-hal terlarang. Termasuk di dalamnya : hidup bersama manusia.

Namun Gangga hanya tersenyum. Dia menarikku berdiri, memelukku, lalu mengelus-elus rambutku. Wajahnya jauh lebih berseri dibandingkan terakhir kali aku meninggalkannya.

"Oh, anakku," katanya sambil mengusap air mata haru, "Bagaimana mungkin seorang ibu bisa marah kepada anaknya sendiri? Pasti kau banyak menderita di dunia manusia."

Ibu benar. Satu nama mengikatku sedemikian rupa, aku berkata, Aku jadi tahu bagaimana orang memperlakukan mereka yang bisu. Dan aku juga tahu banyak hukuman bisa datang karena kemauan penguasa.

"Kau sudah belajar banyak."

Aku menggeleng, lalu menceritakan semua yang aku alami bersama Srikandi dan Drupadi. Seulas senyuman Gangga saat itu benar-benar menentramkan hatiku.

"Biarkan semesta melakukan tugasnya. Sementara manusia menentukan nasibnya."

Tapi, Ibu... di dunia manusia kebenaran sangatlah buram, aku berkata dengan wajah sedih, Sistem membentuk keadilan. Hukum membentuk keadilan. Dari mana kita dapat menentukan yang mana yang paling benar?

Gangga menggeleng-geleng, "Apakah karena ini, Sri Krisna dilahirkan?"

Aku tersenyum, dengan riang menceritakan pertemuanku dengan Krisna. Gangga menyimak dengan penuh perhatian. Agaknya dia paling menyukai bagian ini.

"Apa yang Sri Krisna katakan?"

Dia seringkali tertawa, lalu mengatakan kepada Drupadi kalau lebih baik aku pergi ke Dwaraka, jawabku sebal.

"Mungkin memang itu yang terbaik bagimu."

Aku melongo.

"Sri Krisna pasti bisa mengampunimu atas kesalahan-kesalahan yang telah kau perbuat," Gangga menyentuh pipiku, "Dia tahu siapa dirimu. Dia tahu, penderitaan apa yang akan kau alami jika kau meneruskan perjalananmu."

Oh, Ibu... sekarang pun aku sudah menderita, aku berkata. Aku memegang dadaku yang mendadak terasa perih. Kehadiran sosok Karna di pikiranku membuat hatiku terasa ditusuk-tusuk. Jauh lebih sakit ketimbang hukuman cambuk Raja Drupada.

Gangga menatapku sejenak. Dia menyentuh setetes air mata yang mengalir di pipiku. Sekilas, aku melihat kilat luka di pelupuk mata Gangga.

"Jangan katakan, kalau saat ini kau sedang jatuh cinta," desah Gangga, "Nak, cinta manusia hanya sesuatu yang semu. Sefana hidup mereka."

Aku melihat Gangga menghapus air mata dari wajahnya sendiri. Hanya itu yang menyiratkan kalau dia masih mengingat Maharaja Sentanu. Aku melihat sorot kasih menggantikan derita di wajahnya. Senyuman Gangga saat itu adalah senyuman paling indah yang pernah kulihat.

"Siapa dia, Nak? Arjuna?"

Aku menggeleng.

"Atau Nakula? Dia memang tampan, sih."

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Lalu siapa? Yudhistira? Bima? Sadewa?"

Tiap nama kujawab dengan gelengan. Kekhawatiran semakin membayang di wajah Gangga saat dia menyebutkan satu nama:

"Karna?"

Tangisanku meledak tepat saat nama itu disebutkan. Aku terisak-isak di pangkuan Gangga. Tangan Gangga gemetar ketika dia menyentuh kepalaku. Beberapa kali, dia mendesah. Dia mengelus-elus kepalaku dengan sayang. Membiarkan aku menumpahkan penderitaanku di pangkuannya.

"Kak Saraswati, apakah ini yang kau inginkan?" aku mendengar suara Gangga sarat oleh kepedihan. Dia mengangkat wajahku. Membuat mataku bertatapan dengan matanya.

"Dengarkan aku, Nak," dia menarik napas, "Jalan cinta adalah jalan yang penuh penderitaan. Sementara kedalaman hati manusia, tidak ada yang tahu ..."

Kilat kesedihan akan Maharaja Sentanu kembali membayang di wajah Gangga, "Jika kau terus berjalan di jalan ini, kakimu akan tertusuk duri. Lalu jalan akan semakin menanjak hingga kau harus mendaki."

Apa dayaku, Ibu? aku menulis, Aku melihatnya sedari dia mengapung di atas sungai. Menangis sendirian setelah dibuang ibunya. Lalu satu demi satu ketidak adilan menimpa.

Dia tidak seperti para Pandawa yang sejak lahir telah menjalankan kehidupan sesuai ajaran kebajikan. Jika Pandawa mendapatkan penghormatan, maka dia mendapat penghinaan. Kasih sayangku terus tumbuh dan tumbuh. Tanpa bisa kucegah lagi...

Saraswati memandangku. Dia menyentuh tulisan-tulisan yang aku buat di atas batu, merenungkan setiap kata. Gangga memejamkan mata. Aku merasa jiwanya sedang berkelana, menuju suatu tempat yang dinamakan masa depan.

"Pergilah, Nak."

Aku terkejut mendengar perkataan itu.

"Tempat ini tak cocok untuk pikiran-pikiran manusiawi," perkataannya kini berubah sedingin es, "Jangan pernah kembali ke mari. Jalankan hidupmu. Terima resiko dari setiap keputusan yang kau buat."

Aku menggeleng keras-keras, memohon agar Gangga tak mengusirku. Tapi dia berdiri, lalu tangannya membuka pintu di atas kami.

"Ingat-ingatlah pesanku, Nak. Jika bagian kekuatan Kak Saraswati pergi darimu, saat itulah kau akan menjadi seorang manusia biasa. Kau akan bisa mati. Kau akan merasakan semua penderitaan yang dialami manusia. Kembalilah jika kau sudah bisa menyingkirkan perasaan manusia itu dari hatimu."

Satu gerakan dari Gangga membuatku melayang, lalu terlempar ke tepi sungai. Aku masih terisak-isak ketika pintu tertutup meninggalkan pusaran air yang kian mengecil.

Oh, Ibu... bagaimana aku bisa menyingkirkan perasaan ini? Aku memandang Sungai Gangga dengan mata semakin basah. Berkali-kali mencoba menyingkirkan bayangan Karna dari pikiranku.

Namun semakin aku berusaha menyingkirkan, semakin aku menyadari... bahwa apa yang kulakukan saat itu adalah sia-sia.

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now