Bab 14 - Ikatan Ibu dan Anak

72 11 0
                                    

Seminggu setelah pertemuan terakhirnya dengan Drupadi, Krisna kembali datang ke Panchala. Kali ini, dia membawa kabar duka mengenai lenyapnya Pandawa. Krisna mengatakan, ada sebuah kebakaran besar di istana peristirahatan di Warnabrata. Saat itu, Ratu Kunti dan para Pandawa sedang berada di dalamnya. Entah mereka masih hidup atau sudah mati, tidak ada yang tahu.

"Ini aneh sekali," Krisna berkata sambil memutar serulingnya, "Menurutmu, apakah ada sebuah rencana jahat di balik semua ini?"

Drupadi mengerutkan alis, "Rencana jahat?"

"Ya, setelah kejadian itu, Duryodhana segera dinobatkan menjadi putra mahkota. Semua dilakukan dengan terburu-buru."

"Apa kata Bisma mengenai hal ini?"

"Dia tidak bisa berbuat apa-apa, Drupadi," desah Krisna, "Aah, kasihan Subadra. Dia menangisi Arjuna selama berhari-hari."

"Apa menurutmu, para Pandawa dan ibunya masih hidup?"

Alih-alih menjawab, Krisna malah melirikku.

"Mungkin hal itu bisa dijawab oleh Supriya," dia memamerkan senyuman untuk mengejekku, "Hai, Supriya, menurutmu apa yang bisa menyelamatkan orang dari dalam istana lilin yang terbakar?"

Aku menelan ludah, perkataan Krisna mendadak mendatangkan sebuah visi buram di kepalaku. Mula-mula visi seekor tikus tanah. Lalu tangan yang menggenggamnya. Aku mengenali tangan itu. Aku mengenali wajah yang sering murung itu.

"Anda suka tikus tanah ini?" dia berkata pada seseorang yang masih berusaha kukenali, "Kalau begitu, tikus ini untuk anda."

"Tidak, tidak usah, Raja Angga."

"Saya tidak suka tikus ini. Dia hanya bisa menggali. Lantai istana jadi rusak dan berlubang karenanya."

Akhirnya aku mengenali wajah seseorang yang berbicara dengan Karna. Itu Widura. Wajahnya terlihat pucat saat dia menerima tikus itu dari tangan Karna. Sementara wajah Karna penuh dengan penyesalan bercampur ketidaktegaan.

"Tolong sampaikan salam saya kepada Ratu Kunti," kata Karna, "Saya agak tidak enak badan. Mungkin besok saya tidak bisa mengantar."

Visi-visi lain kemudian datang. Aku melihat para Pandawa dibantu orang suruhan Widura, menggali sebuah terowongan menuju luar istana. Ketika api berkobar, mereka langsung keluar melalui terowongan itu. Mereka berganti pakaian dengan pakaian pertapa, lalu pergi bersembunyi ke tengah hutan.

Saat visi itu selesai, aku melihat kilat jail di mata Krisna.

"Kenapa, Supriya? Kenapa kau tidak menuliskan apa pun?" dia berkata. Drupadi menatapku dengan bingung. Namun saat itu, aku tak bisa menyembunyikan rona merah di wajahku.

Keesokan harinya, menjelang subuh, diam-diam aku mengunjungi Karna. Aku bersembunyi di dekatnya, mengamati punggungnya saat dia berdoa kepada Dewa Surya, mendoakan keselamatan Kunti.

Aku baru menyadari betapa eratnya ikatan ibu dan anak saat itu. Meski terpisah begitu jauh ... selama bertahun-tahun, namun ikatan itu masih menautkan kasih sayang di antara mereka berdua.

Aku ingat, saat Kunti memasuki ibukota... secara kebetulan Karna melintas di dekat keretanya. Karna tercenung melihat Ratu itu. Hatinya berdegup kencang. Hingga dengan digerakkan naluri, Karna mengarahkan busurnya ke langit ... menembakkan panah yang telah dia selimuti dengan kehangatan di hatinya.

Pelangi berkilauan di langit saat itu. Melingkari matahari. Dengan segera, Kunti berpaling ke arah langit, melihat tujuh warna yang saat itu terasa mencubit hatinya.

Tanpa tahu sebabnya, Kunti menangis. Dan di saat bersamaan, setitik air mata turun di pipi Karna. Sejak saat itu, hati kecil Karna selalu merasakan kehangatan saat berada di dekat Kunti, yang tak lain adalah ibunya sendiri.

Legenda Negeri BharataWhere stories live. Discover now