Snowdrop - 11

405 66 11
                                    

Ian mengantar Navi kembali ke rumahnya setelah mengobati luka Navi. Dengan wajah cemas, Ian seolah ingin mengatakan sesuatu kepada Navi. Namun ia terlalu ragu untuk mengatakannya.

"Terima kasih. Aku masuk dulu." ucap Navi

Ian menahan Navi dengan menarik tangan Navi.

"Nav, jika kau butuh bantuan. Jangan ragu katakan padaku." ucap Ian

Navi berbalik menatap Ian sembari mengukir senyum.

"Ya, aku akan mengatakannya. Walau begitu, aku tak ingin terlalu merepotkanmu." ucap Navi

"Kata siapa kau merepotkanku? Nav, sejak kau pergi dari rumahmu. Aku selalu mencarimu. Aku sangat mencemaskanmu. Jujur, aku memang sering mengeluh karena kau sangat menyebalkan, tapi bukan berarti aku membencimu." ucap Ian

Navi tiba-tiba saja tertawa setelah melihat ekspresi wajah memelas dari Ian.

"Ahaha, kau sangat lucu. Aku tau, kau sering mengunjungiku ke sekolah karena kak Larissa sering melihatmu. Lagi pula aku tau, kau adalah seseorang yang sering meninggalkan coklat di satpam sekolah kan." ucap Navi yang membuat Ian salah tingkah.

"Hmm, itu ... ah, aku ingin menanyakan sesuatu." ucap Ian

"Hah, aku sudah menduganya. Katakan!" balas Navi

Navi mengajak Ian ke rooftop rumahnya, dan membuatkan Ian teh hangat.

"Sudah cukup larut untuk minum teh sih, tapi aku harus menjamu tamu tak di undang ini." celetuk Navi

"Kau menyebut aku tamu tak di undang. Tapi kau pasti tak mengatakan itu pada San kan?" balas Ian

"Heh? Bagaimana kau bisa tau? Kau memata-mataiku ya? Ah, jangan-jangan ada drone disekitar sini." ucap Navi seolah mencari drone di sekitarnya.

"Aku tak suka melihatmu dengan San. Entah kenapa aku merasa dia tak sebaik itu. Jangan dekat dengannya hanya karena wajahnya, Nav." ucap Ian

"Ah, dia baik karena dia mantan tunangan kakakku. Tenang saja, dia ... Hmm, wajahnya memang tipeku sih. Dia juga lebih tua dariku. Namun bukan berarti aku menyukainya kan?" ucap Navi

"Baguslah. Wajahku juga tak kalah darinya kan? Nav, kenapa kau tak mengikuti kakakmu? Maksudku, kenapa kau memilih hidup susah, daripada menikmati apa yang memang menjadi milikmu?'' tanya Ian

"Ian, aku memang terlahir dan pantas menikmati fasilitas yang keluargaku berikan, tapi aku juga merasa tertekan dengan ekspetasi mereka. Saat aku punya kesempatan untuk melarikan diri, aku melakukannya." ucap Navi

"Walau begitu, bukankah kau melakukannya karena percaya pada ibumu? Aku mengerti Nav, tapi bukankah kau terlalu menyiksa dirimu sendiri? Kau memilih jalanmu sendiri di usia yang terbilang masih sangat muda. Bukankah ibu sambungmu sangat menginginkanmu?" ucap Ian

"Benar. Jika dipikir lagi, aku menyukai ibu sambungku dan tak membencinya. Tapi pandangan ibuku membuatku menjauh darinya. Ibu kandungku sendiri tak mengharapkanku, lalu bagaimana dengan ibu sambungku? Ian, aku sudah tak menyesali pilihanku, mungkin ini adalah jalanku sendiri." ucap Navi

"Bukankah itu terasa sulit? Kau baik-baik saja dengan itu?" ucap Ian

"Yah, sulit, tapi sangat sulit. Kupikir semuanya akan baik-baik saja jika aku berusaha dengan keras, percaya jika bergantung dan berusaha sendiri, usahaku tak akan mengkhianatiku. Jika gagal, aku berusaha menghibur diriku sendiri, jika ini adalah awal dari keberhasilanku kelak. Namun semakin lama, aku merasa lelah dan mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku takut mengecewakan tubuh ini yang sudah berjuang keras menemaniku. Melihat anak-anak seusiaku, yang menghabiskan waktunya dengan mudah tanpa penyesalan, membuatku membenci diriku sendiri. Ketika mereka gagal dan membuat kesalahan, mereka akan mudah menyeselesaikanya, hanya dengan koneksi keluarga. Aku merasa iri." ucap Navi, sembari menatap gelapnya langit.

CIRCLES (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang