Snowdrop

691 70 4
                                    

Seribu kelimat kebohongan akan kalah dengan satu kalimat kejujuran. Maka dari itu, cukup temukan satu orang jujur, dan semua akan berakhir.

**********

Semua siswa telah berkumpul dikelas masing-masing untuk memulai ujian. Navi pun telah hadir dikelas. Menatap sendu kursi Ana, Ian dan Vidor yang telah kosong. Sedikit merasa tertekan, Navi merasa mual dan bergegas keluar dari ruang kelas. Yuda, Zayyan dan Ren hanya menatapnya sekilas. Ketiganya juga menunjukkan raut wajah sedih. Tentu setelah kehilangan beberapa sahabat mereka. Namun sudah cukup terlambat untuk menyesali perbuatan itu. Tanpa Yuda sadari, air matanya menetes. Seketika ia memukul meja dengan keras. Berdiri dan beranjak keluar dari ruang kelas. Sungguh penyesalan selalu datang di akhir.

Navi keluar dari toilet. Langkahnya terhenti saat ke dua bola matanya bertemu dengan sosok pria yang entah ia membenci pria itu atau tidak. Tak ada bukti yang kuat untuk menuduh San terlibat dalam segala ke kacauan ini. Navi mengubah ekspresinya. Jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada San. San tersenyum dan mendekati Navi.

"Kau menghindariku. Kau membenciku tanpa sebab. Bukankah ini tak adil? Aku tak tau alasan adikku ini membenciku."

Navi menatap tangan San yang sedikit terluka. Menyadari jika Navi mengetahui kejadian semalam. San sontak tertawa kecil dan berbisik ke telingan Navi.

"Aku membunuhnya," bisik San lalu berjalan menjauh meninggalkan Navi. Navi mengepal kuat tangannya. Kesal dengan apa yang baru saja ia dengar. Tak jauh dari tempat Navi berdiri, Dean muncul sembari tersenyum ke arah Navi.

Dean berlalu pergi. Sembari melewati koridor. Ia tersenyum tipis sembari melepas topi hoodie yang ia kenakan. Beberapa siswa menatapnya sembari berbisik kecil.

"Katanya ia bertemu dengan Navi?"

"Akhir-akhir ini para siswa beasiswa itu tak berkumpul di perpus lagi."

"Wah, aku penasaran dengan apa yang akan terjadi."

Dean masuk ke dalam kelas. Menatap Eris dan Valdan yang tengah termenung. Dean membuka ponselnya. Terdapat pesan masuk yang ternyata dari Navi.

Jangan lupa dengan
kesepakatan kita.
Jika aku berhasil,
lakukanlah!

Dean tertawa kecil membaca pesan itu. sesekali ia melirik ke arah Eris. Menghela nafas pelan. Seolah merasa kasian dengan apa yang baru saja terjadi pada Amel. Siapa yang tidak tau? Beritanya mulai menyebar. Artikel tentang kematian sosok bintang muda terkenal. Ucapan bela sungkawa bahkan dapat dilihat di mana-mana. Eris tak mampu lagi menahan air matanya ketika menatap keluar jendela. Puluhan karangan bunga berbaris rapi di lapangan dan pintu masuk sekolah. Valdan pun hanya bersandar di sudut kelas dengan tatapan kosong. Acuh dengan sinar matahari yang mengenai wajahnya.

Sementara di sisi lain, Taqi tengah termenung dengan tatapan kosong. Dikelilingi dengan banyaknya benda yang berceceran dilantai. Tangan kananya penuh dengan luka dan darah yang mengering. Cermin pecah dan dinding dengan bekas pukulan keras, terlihat jelas.

"Tuan, makanlah!"

Taqi hanya terdiam. Acuh dengan perkataan wanita paru baya yang baru saja datang. menatap sendu setelah melihat betapa kacaunya sosok anak laki-laki yang selama ini ia asuh.

"Tuan!"

Taqi tiba-tiba saja berdiri dan berlari keluar. Segera beberapa pria yang berjaga menghalaginya. Taqi berteriak, mencoba memberontak. Terus melawan sampai beberapa pengawal itu kewalahan.

"Amel! Amel!" merasa kasian, sosok pengasuh ini berteriak keras. Memberi perintah untuk melepaskan Taqi.

"Lepaskan! Aku bilang lepaskan! Pergilah! Cepat pergi!"

CIRCLES (END)Where stories live. Discover now