Bagian 3

22.7K 1.6K 8
                                    

Kirani Medina Atmajaya, kini untuk pertama kalinya sejak menyandang nama Atmajaya di belakang namanya merasakan bagaimana rasanya duduk di sebuah kendaraan umum yang mana terasa penuh dan sesak. Tidak ada kenyamanan yang bisa Kiran raih ketika kondisi di dalam mini bus yang sedang di tumpanginya itu terasa sangat bising dan bau.

Saat di terminal pertama Kiran cukup merasa bersyukur di karenakan naik bis yang ada AC di dalamnya. Namun, kini ketika perjalanan berlanjut dari terminal kedua menuju daerah kabupaten Kiran harus puas dengan kendaraan yang lebih kecil dengan kondisi di dalamnya yang ala kadarnya sekaligus tidak ber-AC. Kini Kiran tahu jika Indonesia ternyata tidak se-sempit itu terhitung ketika keberangkatan pertamanya pada pukul 10.00 dan kini waktu menunjukan pukul 17.00 Kiran tidak tahu berapa lama lagi dirinya akan habiskan untuk bisa sampai di kampung Bi Aas. Untuk ukuran perjalanan selama itu biasanya Kiran sudah sampai di negeri orang dengan menaiki pesawat atau private jet tentu saja. Dan kini bahkan Kiran masih berada di negara Indonesia tercinta, luar biasa sekali Bi Aas dan Mang Kasno jika ingin pulang kampung.

Kiran terjaga ketika kendaraan yang di tumpanginya tiba-tiba berhenti. Apa sudah sampai ya? Batin Kiran bertanya-tanya sambil menengokan kepalanya ke kanan dan kiri. Orang-orang di dalam mini bus nampak turun satu persatu membuat Kiran ikut bangkit dan hendak turun. Kiran tidak tahu saat ini berada dimana tetapi Bi Aas tadi sempat berpesan memang menuju kampungnya harus dua kali naik bis dan Kiran yakin jika kini dirinya sudah sampai. Hanya saja Kiran harus bertanya dulu dimana letak pasti kampung halaman Bi Aas itu.

Setelah koper serta tas bawaannya sudah berada di tangan dengan perlahan Kiran mulai menarik koper miliknya di area jalanan yang tidak rata. Dengan tangan lain memegang secarik kertas berisi alamat kampung Bi Aas.

Kiran mengarahkan dirinya menuju sebuah warung kopi yang di isi beberapa bapak-bapak yang sedang menikmati kopi juga beberapa yang lainnya asik bermain catur. Hawa dingin terasa menusuk permukaan kulit Kiran yang hanya di lapisi kardigan tipis mengingat kini jam sudah menunjukkan angka 7 malam.

"Bu air mineralnya satu." Kiran berdiri di warung tersebut sambil menyebutkan pesanannya.

Ibu penjaga warung langsung memberikan apa yang di pesan Kiran.  Sambil matanya terlihat meneliti Kiran dengan seksama. "Eleuh eleuh... atuh meni geulis pisan iyeu si Eneng. Bade kamana atuh Neng, wengi-wengi?"

(Aduh aduh... ini si Mbaknya kok cantik banget sih. Mau kemana Mbak malem-malem gini?")

Kiran mengerutkan keningnya saat Ibu penjaga warung tersebut mengatakan sesuatu yang tidak Kiran mengerti. "Ibu bilang apa? Saya nggak ngerti maaf."

Ibu penjaga warung sontak menepuk jidatnya. "Aduh... maaf loh. Saya tadi nanya Mbaknya mau kemana malem-malem gini?"

Kiran refleks membulatkan bibirnya. "Ini Bu saya mau ke desa Sukamakmur dimana ya?"

"Eleuh... eleuh... itu mah masih jauh atuh Neng."

"Hah?" Tanpa sadar Kiran membuka bibirnya. Masih jauh? Sejauh apalagi memangnya.

"Iya, akses kesana memang masih agak susah Neng. Apalagi kalo malam-malam begini mah rawan."

Kiran meneguk ludahnya kasar. Lalu, kini Kiran harus bagaimana? Berada di tempat asing seorang diri membuat perasaan Kiran kian tak nyaman.

"Eneng baru pertama kali ya ke sini?"

Kiran mengangguk kaku yang membuat si Ibu mendecakan lidahnya. "Jangan dulu kesana Neng, mending nginep dulu aja di sekitaran sini."

Mata Kiran sontak cerah kembali. "Di sini ada hotel ya Bu?"

Ibu itu kembali berdecak. "Bukan hotel Neng, di sini mah namanya penginapan."

Bertemu Denganmu [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang