08:55 Liam Payne

478 94 12
                                    

Brooklyn, New York, United States
11 September 2001
08:55 AM

**

Rambut cokelat keemasan milik Liam diacaknya dengan asal. Dadanya bagai terbakar dengan rasa amarah karena Ruby meninggalkannya sementara di dalam lubuk hatinya ia menyalahkan dirinya. Tak seharusnya ia membentak Ruby seperti tadi.

Ia pun memejamkan matanya. Tanpa ia sadari bibirnya bergerak menggumamkan permintaan agar Ruby kembali dan memaafkannya.

Ditariknyan nafas dalam-dalam, mencoba melegakan dadanya yang terasa terhimpit. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mengemasi barang-barang? Tidak, ia tak akan mengikuti apa yang Ruby pinta. Ini hanyalah kesalahpahaman.

Dia akan menunggu Ruby hingga pulang.

Baru telepon rumahnya berdering, Liam langsung meraih gagang telepon dengan harapan jika Ruby meneleponnya dan mengatakan jika ia hanya bercanda mengusirnya. Tetapi yang didapatinya malah suara riuh di seberang sana; percakapan cepat dan banyak suara sirine yang menggaung.

"Liam, kau harus ke sini segera!" perintah itu terdengar tegas dari atasannya.

Liam mengerang pelan, menyederkan punggungnya ke sofa. Mengapa atasannya yang satu ini suka sekali memberikan perintah saat cutinya. "Ada Rob si Anak Baru itu kan? Gantikan aku dengannya."

"Semua tim dikerahkan! Ted bawa tabung oksigen sialan itu secepatnya!" meskipun tidak ada di sana, Liam bisa merasakan ketegangan yang terjadi. "Kau belum nonton berita pagi ini ya?"

Liam menggeleng pelan. "Belum."

"Bangsat! cepat nyalakan televisimu!" Liam bergegas meraih remote televisi dan menggantinya ke saluran berita. Terlihat di layar kaca beberapa pemadam kebakaran dan dibantu petugas kepolisian mengevakuasi korban dari dalam gedung. Teks berjalan di bawahnya menyatakan keadaan yang tengah terjadi. Liam terperangah tidak percaya. "Segera ke sini. Kami kekurangan orang."

"Kita bertemu di sana. Bawakan peralatanku."

.

Suara sirine memekakan telinga melintas berkali-kali di depan supermarket. Itu sudah yang ketiga kalinya semenjak Ruby menginjakkan kaki di supermarket. Situasi pasti gawat di luar sana, pikir Ruby yang tak dapat melepaskan pandangan dari jalan. Melihat mobil pemadam kebakaran mengingatkannya pada Liam. Apakah Liam ikut tergabung di sana?

Ruby mentertawakan dirinya sendiri. Mana mungkin cowok pemalas itu mau ikut-ikutan meski tengah dalam keadaan darurat.

Si penjaga kasir menegurnya karena menggenggam uangnya terlalu keras. Ruby tersadar dan melepaskannya, "maaf, apakah kau tahu kenapa banyak sekali pemadam kebakaran yang lewat?"

Kedua alis wanita itu terangkat mendengar pertanyaan polos dari Ruby, "kau tidak tahu?" Ruby menggeleng pelan, "salah satu gedung World Trade Center tertabrak pesawat. Sepertinya kecelakaan. Semua unit pemadam kebakaran terdekat dikerahkan."

Ruby meringis pelan karena tidak mengetahui berita besar macam itu. Namun yang malah dikhawatirkannya adalah Liam. Dia tak lagi meragukan apakah Liam ikut membantu atau tidak. Liam memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ia rela melakukan apapun demi menyelamatkan orang lain, meskipun taruhannya adalah nyawa.

Rasa khawatir entah mengapa tersulut dalam dirinya. Setelah menenteng kantong belanjaannya, Ruby berlari menuju apartement yang berjarak beberapa blok. Firasatnya tak enak. Batinnya terus mengatakan jika ia harus segera pulang dan menemui Liam sebelum ia pergi.

Tak lagi ia mempedulikan rasa kesalnya. Andai ia punya uang lebih untuk naik bus sehingga ia tak perlu tertatih-tatih berlari sambil membawa kantong belanjanya.

Ketika membuka pintu, Ruby merasakan kelegaan mendengar televisi yang berbunyi keras. Ia belum terlambat mengucapkan selamat tinggal karena ia tak akan tahu apa yang akan terjadi setelah itu.

"Liam," panggil Ruby dengan napas terengah-engah pada lelaki yang duduk membelakanginya.

Hati Ruby mencelos dikala mendapati Dave, mantan sahabatnya, yang duduk di sofa itu.

Liam tak pernah suka dengan dave. Ia selalu cemburu jika Dave dekat-dekat dengan tunangannya. Dari dulu ia mencoba memisahkan Dave dan Ruby. Dan rencana itu berhasil, Ruby dan Dave berasa dalam kecanggungan selama beberapa bulan.

Meskipun membencinya, Liam menaruh kepercayaan penuh pada Dave.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Ruby menghiraukan telepon yang terus berdering. Yang dibutuhkannya saat ini adalah penjelasan Dave.

"Liam menyuruhku ke sini," jawabnya dengan enteng.

"Karena?"

Dave mengendikkan bahunya, "entah, dia tadi buru-buru memintaku untuk menjagamu selama ia pergi."

Dulu Liam pernah meminta Dave untuk menjaga Ruby dikala ia bertugas karena perasaannya tak enak mengenai tugasnya kala itu. Dan benar saja, sepulangnya Liam menerima luka bakar cukup parah di lengannya saat berusaha menyelamatkan seorang bocah yang terperangkap di kamarnya.

"Kau tak berniat mengangkatmya? Sudah sedari tadi telfonmu berdering," kata Dave, melirik gusar ke arah telepon.

Ruby menggeleng dan membiarkan telepon itu terus berdering. Paling hanya penagih hutang yang kerjaannya menteror setiap hari. Deringan telepon mati dan digantikan suara yang amat ingin di dengarnya saat itu.

"Hey, Ruby. Ini aku, Liam. Aku sedang berada di gedung kembar. Di sini sangat buruk. Aku harus menyelamatkan orang-orang di atas sana," Liam menghembuskan napasnya dan terdiam sesaat. "Aku ingin minta maaf atas segala hal yang telah kuperbuat. Aku tak pernah bermaksud demikian. Aku mencintaimu, Ruby. Akan kuhubungi lagi setelah semuanya beres. Da-ah!"

Sampai pesan suara itu selesai, Ruby masih mematung di tempatnya, menatap telepon yang kini tak mengeluarkan suara. Perasan hampa menyelimutinya.

September Eleven | 1d ✔️Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon