13.28 Zayn Malik

302 66 5
                                    

Sekaleng minuman bersoda selesai dihabiskan oleh Zayn. Ia menghela napas, menyenderkan punggungnya ke kursi, dan memainkan kaleng soda itu dengan tangannya. Di sebelahnya seorang pria setengah baya tertidur dengan posisi duduk. Nasib dia sama dengan Zayn, beberapa kali mereka berpapasan. Mereka sama-sama mencari orang yang mereka kasihi yang terjebak dalam tragedi pagi tadi.

Tak ada lagi jalan yang bisa Zayn tempuh untuk menemukan Chelsea. Ini adalah rumah sakit terakhir yang merawat korbat WTC dan hingga saat ini dia tidak menemukan Chealsea.

"Lindsay! Ruang 804 kosong. Pindahkan pasien di lorong."

Ucapan perawat wanita, yang tampak lebih senior daripada lawan bicaranya, menarik perhatian Zayn. Matanya mengikuti pergerakan perawat muda yang berjalan cepat ke lorong di samping meja resepsionis. Tak lama setelah itu, dia bersama beberapa perawat mendorong beberapa ranjang menuju ke ruang kosong yang dimaksud.

Waktu seakan berhenti saat Zayn terasadar akan suatu hal. Tangan seorang pasien di ranjang paling depan terjulur dari sisi ranjangnya. Sebuah jam cokelat dan cincin perak yang amat familiar bagi Zayn membuatnya tertohok.

Chelsea?

Zayn lantas bangkit dan berusaha menyelip agar bisa berjalan berdampingan dengan ranjang pertama. Namun karena akses masuk ke dalam lorong ruang inap hanya bisa dilewati satu ranjang, Zayn kesulitan. Dia hanya bisa berjinjit menatap kerpergian ranjang itu dari pandangannya.

Dengan tak sabar ia menanti tiga ranjang lain yang menyusul. Ia melebarkan langkah saat berhasil mendapatkan akses masuk. Matanya nyalang mencari keberadaan pasien yang ia yakini sebagai Chelsea.

Kini firasatnya terasa sangat kuat. Dia akan menemukannya.

Seorang perawat yang keluar dari salah satu ruangan menarik perhatiannya. Perawat itu yang tadi mendorong ranjang. Tanpa basa-basi lagi Zayn masuk ke dalam ruang inap tersebut.

Kembali dia disambut oleh tata letak ruang inap seperti sebelumnya. Tapi kali ini sangat berbeda. Kakinya lemas begitu melihat Chelsea terbaring lemah di salah satu ranjang, menatap kosong langit-langit.

"Chels," panggil Zayn lirih. Si pemilik nama langsung menoleh.

Darah Zayn berdesir. Rasa lega bersorak dalam tubuhnya.

Dia tidak akan kehilangan Chelsea.

"Jangan mendekat," kata Chelsea dengan suara pelan saat Zayn melangkah mendekat ke arahnya. Zayn menghiraukan dan kembali melangkah. "Aku bilang jangan mendekat!"

"A-ada apa?" tanya Zayn gelagapan melihat tingkah Chelsea yang aneh. Jari telunjuk lentik milik tunangannya itu tertuju padanya.

"Jangan pernah temui aku lagi."

"Chelsea, ada apa?"

Chelsea menitikkan air matanya. Dia terisak. Tangisannya mematukan perasaan bahagia yang awalnya memenuhi tubuh Zayn.

Zayn lantas langsung berdiri di samping ranjang dan memeluk Chelsea dengan erat. Tanpa alasan yang jelas ia ikut menangis.

"Kau berhak untuk bahagia, Zayn. Tinggalkan aku yang tak lagi sempurna."

Baru bibir Zayn ingin mengutarakan pertanyaan yang sama, lehernya tanpa ia sadari menoleh ke arah selimut yang seharusnya menutupi kaki pasien. Di balik selimut tidak tampak apapun. Hanya permukaan kasur yang datar.

"Tidak," Zayn mendekap lebih erat lagi. "Melihatmu hidup sudah menjadi kebahagiaan bagiku. Aku tak akan meninggalkanmu apapun keadaannya."

September Eleven | 1d ✔️Where stories live. Discover now