11.35 Louis Tomlinson

353 71 5
                                    

Abby berdecak lagi sementara matanya memandang ke arah barisan mobil di depannya. Kedua tangannya terlipat di dada. Kakinya tak bisa berhenti bergerak. Ia sudah muak berada di dalam mobil sementara waktu terus berjalan.

"Sialan! Bisakah mereka berhenti mengklakson!?" umpat Abby, memutar tubuhnya ke arah belakang. Di belakang mereka suara klakson terdengar bertubi-tubi.

Abby benar-benar kacau; tak bisa lagi berpikir jernih. Yang ada di kepalanya hanyalah Louis. Keyakinan jika Louis sudah menunggunya di bandara meneguhkannya untuk datang ke bandara melalui jalan tol yang macet total.

Di sebelahnya, Karlie hanya bisa duduk di belakang stir dan mendengarkan umpatan yang terus menerus dikeluarkan Abby. Dengan sukarela ia mengantarkan Abby.

"Demi Tuhan!" lagi-lagi Abby berseru.  Tangannya membuka pintu mobil dan langsung ia keluar.

Karlie yang melihat itu sontak memanggil namanya, "Abby! Apa yang ingin kau lakukan?" Abby tak mengindahkannya, ia berjalan menjauh dari mobil Karlie yang masih terjebak. Menurutnya ia hanya membuang-buang waktu, jika dia jalan kaki sedari tadi, dapat ia pastikan saat ini ia sudah berada di pintu kedatangan.

Dia akan berdiri di sana dan menyambut Louis.

.

Setengah jam lebih Abby menyusuri jalan tol, akhirnya dia sampai. Bandara begitu penuh dengan penumpukan di loket pembelian tiket. Wajah datar dengan pandangan kosong seakan menjadi pemandangan biasa di sana. Suara perbincangan terdengar dari segala penjuru.

Abby melangkah cepat menuju pintu kedatangan yang pertama kali ditemuinya. Keringat membanjiri keningnya. Napasnya terdengar pendek. Di depan matanya pintu kedatangan terlihat, sekerumun orang berdiri di depannya, menunggu kepulangan orang yang dikasihi.

Abby menanti di belakang seorang pria dewasa dengan tubuh tinggi dan tambun. Sedikit berjinjit, dia berhasil mendapat penglihatan lebih jelas. Satu persatu orang keluar dari sana, menenteng barang bawaan mereka. Dengan teliti Abby menyisir tiap wajah yang keluar dari sana, beharap setengah mati ia menemukan wajah familiar yang amat ingin dilihatnya.

Perlahan kerumunan itu menipis hingga akhirnya hanya tersisa Abby yang masih berdiri di depan pintu kedatangan. Masih mengharapkan Louis tiba-tiba muncul (dengan senyuman khasnya) dan bercerita betapa bodohnya ia lupa dengan kopernya sendiri.

Sampai akhirnya ia berhenti berharap demikian. Dia menoleh ke sekitarnya. Lantas mendekati seorang petugas keamanan. "Permisi, apakah American Flights 11 tujuan Los Angeles sudah landing?"

Petugas keamanan itu mengerutkan dahinya. "Maaf, sebetulnya lintasan sudah ditutup dan tadi adalah penerbangan terakhir yang sampai."

"T-tidak. Kekasihku berkata ji-jika pesawatnya akan memutar kembali ke sini," ujar Abby gelagapan.

"Berita itu tidak benar, Nona. Karena kejadian di World Trade Center kami terpaksa menutup lintasan sementara."

Dada Abby terasa sesak tiba-tiba. Lalu di mana Louis sekarang? Bukankah seharusnya dia sudah tiba? Dan omong kosong apa yang dimaksud si petugas keamanan di hadapannya?

Setelah mengucap terima kasih, Abby menduduki kursi yang menghadap ke kaca yang memperlihatkan pesawat-pesawat yang terparkir rapih dan lintasan pesawat. Dia menatap lurus pada salah satu pesawat, dan di kepalanya terus mengulang satu pertanyaan yang sama; di mana dia?

"Ini, untukmu," seseorang menyodorkan sebotol air mineral kepada Abby. Abby hanya mendelik cepat pada botol air dan orang yang memberikannya minum. Tanpa menolak ataupun menerima, Abby kembali memandangi pesawat.

Dia pasti kembali kan?

September Eleven | 1d ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang