4

1.8K 182 45
                                    

Saya menang Watty's Award 2016 katagori visual story telling ahahaha ... kok bisa?
Anyway, thank you wattpad! Jadi bikin merasa berdosa gegara jarang apdet nih!
Anyway untuk katagori visual story telling saya rasa penghargaan ini lebih baik diterima oleh para artist yang saya pinjam gambarnya. Saya selalu menaruh credit nama para artist ini di setiap akhir bagian cerita saya, jadi jangan lupa untuk melihat-lihat hasil karya mereka kalau kalian ada waktu.

Why am I spending too much time in this commentary? Let's get to the story right?

Here goes

---

Saat Darien memutuskan untuk menjadi tabib di Morbos, satu-satunya harapan yang ia miliki adalah untuk mendapatkan kehidupan yang tenang. Menolong orang semampu yang dapat dilakukannya, mungkin mendapat tantangan-tantangan kecil seperti meyakinkan penduduk desa Morbos kalau teknik pengobatannya bukanlah sesuatu yang harus dijauhi. Ia sudah mempersiapkan dirinya untuk hal-hal ini. Tapi apapun itu ia jelas tidak mempersiapkan dirinya untuk menemani dua orang gila dalam misi bunuh diri yang memaksanya menembus hutan di tengah malam buta, dan kini menjadi saksi salah satu orang gila itu mendaki tebing air terjun yang curam.

Air terjun Samsara adalah air terjun yang tingginya melebihi tinggi benteng desa Morbos. Deru air terjun itu sangat deras, dan sekalipun Darien berdiri tak terlalu dekat dengan sungainya, tetap saja ia dapat merasakan percikan-percikan air yang terlontar dari alirannya. Tebing air terjun itu pun tak dapat dikatakan bersahabat. Bebatuan tak stabil yang lembab dan tertutup lumut bertumpuk tak teratur dengan susunan yang curam dan berbahaya. Darien bukanlah seorang pendaki, tapi dengan mengawasi pergerakan Keahi saja, ia sudah dapat menebak kalau pria itu tak sedang menghadapi kegiatan yang mudah.

"Hey, Darien! Apa kau bisa buat bola cahayamu ini melayang lebih dekat ke kepalaku, aku tak dapat melihat dimana pepefitro tadi berada!" seruan dari Keahi langsung membuat Darien menghela napas panjang, dan menggerakkan tangan kanannya yang kini berpendar ke arah yang diminta pria gila itu. Bola cahaya yang tadinya melayang di tengah-tengah sungai seketika melesat tinggi dan kini melayang di dekat kepala Keahi, memberi penerangan yang lebih baik pada pendaki yang jelas tak kenal rasa takut itu.

"Aku tak pernah tahu kalau selain membantu penyembuhan seseorang, seorang tabib juga dapat menjadi penerang jalan. Kau benar-benar lebih berguna dari yang kuperkirakan!" ujar Ho'okano seraya memandangi bola cahaya ciptaan Darien itu dengan takjub.

"Jangan pura-pura bodoh. Kau tahu keluargaku. Kau tahu ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk kulakukan," gerutu Darien seraya menurunkan tangannya dan menghempaskan dirinya ke tanah. Ia telah membuat bola energinya bergerak mengikuti pergerakan Keahi. Mengingat kapasitas sihirnya, ia tahu bola itu akan terus berpendar selama beberapa jam ke depan, sebelum nantinya akan menghilang dan harus digantikan dengan bola energi baru jika Keahi masih membutuhkannya.

Ho'okano tentu saja tertawa mendengar gerutuan teman barunya itu, "Tak ada salahnya memuji usaha seseorang. Seberapa hebat pun seseorang, mereka tetap akan senang jika ada orang lain yang menghargai usaha mereka!" ujar pria itu seraya mengawasi pergerakan sahabatnya dengan cermat.

"Kau tahu kalau ibumu tak akan memaafkanku, kan?" seru Ho'okano lantang yang langsung ditanggapi tawa oleh Keahi.

"Sejak kapan kau peduli dengan pendapat ibuku? Seingatku, kau bahkan tampak bangga jika berhasil membuatnya kesal!" Keahi berseru balik sambil meraih batu lain yang tampak lebih tinggi di atasnya.

Darien hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi sikap acuh tak acuh kedua pria yang menjadi teman seperjalanannya itu. Betapa tidak, kegiatan yang seharusnya dihadapi dengan penuh ketelitian dan serius, seolah dianggap sebagai permainan bagi kedua pria itu. Sesuatu yang mau tak mau membawa berbagai kenangan lama kembali ke pikirannya.

The Healer [Canceled Series]Where stories live. Discover now