Bagian satu

524 28 0
                                    

"Jangan menjadi pendiam. Jika diam itu membuatmu semakin bodoh."

***

Inka turun dari Bus. Berjalan sembari mengamit tas ranselnya. Ia tidak memperdulikan para murid yang menatapnya dengan berbeda. Inka merasa dirinya sama seperti yang lain. Tidak ada yang beda. Menurutnya, perbedaan itu dilihat dari cara mereka menjaga diri mereka sendiri.

Saat gadis itu ingin masuk kelas, beberapa cewek menarik tangannya dan mendorongnya hingga punggungnya menyentuh dinding. Siapa lagi kalau bukan Ratu dan dayang kesayangannya yang seperti ini. Pagi-pagi pun mereka tak ingin melewatkan hal untuk membully siapapun.

"Mau apa kalian!" ucap Inka berusaha memberanikan diri.

"Harusnya gue yang tanya! Lo mau apa deket-deket sama Marchell!" bentak Ratu tak mau kalah.

"Ma--Marc--Marchell?" Inka terbata. Ia merasa sesak di bagian dadanya. Ratu menahan dadanya begitu keras.

"Hey kalian!" teriak seseorang dari belakang Ratu.

"Ra, ada guru BP." bisik Irish.

"Sshht!" dengan kasar Ratu menjauhkan tubuhnya dari Inka. Dan berbalik saat guru BP menghampiri mereka, Pak Alam.

"Ada apa ini pagi-pagi?" tanyanya dengan pandangan curiga.

"Nggak ada  Pak, kita cuman lagi ngobrol aja sama Inka," jawab Maudy.

Pak Alam menghela napas sembari menggeleng. "Kalian masuk kelas, lima menit lagi bel akan berbunyi."

"Siap Pak," balas Ratu, Irish, dan Maudy dengan serempak.

Inka masih terdiam di tempatnya saat Pak Alam sudah pergi. Saat hendak Inka ingin beranjak, kedua tangannya sudah di tahan oleh Maudy dan Irish.

"Mau apa lagi kalian?"

Ratu maju selangkah lebih dekat kearah Inka. Ia melirik kanan kirinya memastikan Pak Alam tidak ada disekitar mereka.

"Denger yaa!, Kalau gue liat lo deketin si Marchell. Kena akibatnya!" ucapnya sinis.

"Inget tuh!" Maudy menghentakan tangan Inka diikuti Irish.

Mereka lalu berjalan dan menuju kelas masing-masing. Inka hanya menghela napas dan berjalan masuk kedalam kelasnya.

Apa salahku?

---

"Lo kenapa In,?" tanya Ivanna saat Inka duduk dikursinya.

"Nggak,"

"Kenapa ih, cerita aja."  Inka menghela napas . Ia melepaskan tas ranselnya dan mulai bercerita kepada Ivanna.

Ia menceritakan semua kejadian sepulang sekolah kemarin. Dan itu sontak membuat Ivanna terkejut saat nama Marchell disebut oleh Inka.

"Jadi, kemarin kalian pulang bareng?" tanya Ivanna untuk kesekian kalinya.

Inka mengangguk lagi, "Dia baik. Tapi gue takut kalau dia cuman pura-pura baik."

"Ish, jangan gitu." jedanya. "Marchell itu baik ko orangnya. Dia jarang kena kasus, nggak kaya si Darwin."

"Darwin?" tanya Inka sambil mengernyit.

"Kembaran si Marchell, tapi mereka nggak identik. Jadi nggak keliatan kembarnya."

"Oh, gue nggak pernah liat."

"Nanti deh gue kasih tau," ucap Ivanna semangat.

Inka mengangguk dan tersenyum. Tak lama bel berbunyi dibarengi masuknya guru Bahasa Indonesia. Pelajaran dimulai dengan beribu tanya yang masih melekat kuat di kepala Inka. pertanyaan tentang mengapa baru ada cowok yang mau menolongnya kemarin? Dan cowok itu seperti yang sudah di lihat oleh Inka sebelumnya.

Nerdy, I Wuf YouWhere stories live. Discover now