Bagian Lima

274 13 0
                                    

Aku membuka pintu rumah dengan lesuh. Rasanya mulut ini tidak ingin mengeluarkan kata sedikitpun. Kenapa? Aku tidak habis pikir akhir dari pembicaraanku barusan dengan Darwin dicafe.

"Aku nggak mau omongin ini lagi! Dan aku nggak mau cari jalan keluarnya! Ini masa lalu aku, In! Masa lalu yang harus di lupain! Masa lalu yang harus dibuang dan nggak usah dikenang! Apalagi sih!" omel Darwin didepanku.

Aku kaget. Baru kali ini melihat Darwin marah seperti tadi.

"Aku sama Ivanna nggak ada hubungan apapun! Aku hanya teman! Dia teman baikku! Aku mencoba menegurnya, mencoba mendekatinya, tapu justru dia menjauh! Apa yang salah?"

"Karena kamu udah patahkan setengah harapan Ivanna dari kamu, Win." balasku.

"Harapan apa?"

"Harapan kalau hubungan kalian bisa lebih, dan kamu bisa nerima Ivanna dihidup kamu bukan sebagai teman! Tapi lebih."

"Cukup, Inka. Aku nggak mau debat soal ini sama kamu." 

Darwin mengatur napasnya yang mengebu-ngebu. Ia menyesap coklat yang mulai dingin dengan perlahan beberapa kali. Aku memperhatikannya dalam diam, jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa selanjutnya nanti.

"Ini..." Darwin mulai bicara lagi. "Nggak penting. Ini nggak penting Inka. Pembahasan kita nggak penting."

Darwin berdiri. Ia menatapku sesaat lalu pergi. Pergi tanpa bicara lagi. Aku melihat punggung itu menghilang dibalik pintu kaca. Aku menghela napas, membiarkan coklat dicangkirku dingin, seperti hati Darwin yang sedingin es dan susah dicairkan.

BUHKK!!!

Aku tersentak dan mundur beberapa langkah saat seseorang menabrakku.

"Inkaaaa!" suara serak cempreng milik seseorang mulai menyadarkanku.

Aku terpaku sesaat, tak lama Ia nyengir dan langsung memelukku erat hingga aku kesulitan bernapas.

"Le..lepasin!" pekikku seraya memukul pundaknya.

"Gue kangen sama lo, nying!" ucapnya sambil menpererat pelukannya.

"Joe!" teriakku sambil mendorong badan besar dan tinggingnya dariku.

Dia Joe, saudara laki-laki dekat yang kupunyai hingga saat ini. Aku jauh dari keluargaku, di kota yang padat ini, aku hanya tinggal bersama Mama. Keluargaku sebagian besar ada diluar kota.

Namun Joe, yang kutahu terkahir dia ada di luar negri untuk bersekolah disana hingga kuliah. Karena itulah cita-citanya dari kecil. Tapi sekarang dia ada didepanku.

Joe bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sangat akrab denganku. Meski menyebalkan, dialah orang pertama yang akan memukul siapapun yang berani membullyku. Tapi, itu hanya berlaku saat kami masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Setelah itu Joe pergi, meninggalkanku dengan cerita baru yang suram.

"Kangen nggak sama gue?" tanyanya dengan kedua mata berbinar.

Aku hanya menghela napas. Sore ini aku benar-benar tidak mood. Masih baper.

"Ekspresi lo kok biasa aja sih,?"

"Lo ngapain kesini?"

"Maenlah,"

"Hah?"

"Lo nggak pernah berubah ya, nying. Tetep kaya dulu, kikuk."

Nying. Bisa dibilang itu kata-kata kasar, tapi itu adalah panggilan Joe untukku. Karena menurutnya, suaraku seperti nying-nying kalau sedang marah. Meski aku jarang marah-marah pada orang. Dan satu hal lagi, sebenarnya akupun tidak tahu nying-nying itu seperti apa.

Nerdy, I Wuf YouWhere stories live. Discover now