14. Pesantren

140K 10.3K 160
                                    

"Sebesar apapun masalahmu, kembalikankah pada Dzat yang menciptakanmu. Karena sesungguhnya semua akan kembali kepada-Nya."

~***~

Ingar-bingar pesta pernikahan Kasih dan Dimas sudah berlalu satu bulan yang lalu tetapi gunjingan menjijikkan masih terus terdengar dari tetangga dan keluarga. Memang hidup di kampung itu berbeda dengan di kota. Selalu saja ada mulut tetangga yang suka ikut campur urusan orang lain. Suhadi dan Maryam harus lebih sabar dan menebalkan telinga jika mendengar kalimat pedas dari orang-orang sekitar.

Kasih sendiri sudah diboyong Dimas ke rumah orang tuanya setelah selesai acara resepsi. Mereka berdua tidak ingin berlama-lama tinggal di rumah Suhadi karena gunjingan para keluarga dan tetangga yang tak kunjung reda. Kasih hanya beberapa kali pulang ke rumahnya untuk mengambil barang-barang yang masih tertinggal. Kedua orang tuanya terlihat tidak acuh ketika Kasih datang.

Selain gunjingan yang tidak sedap. Ada hal lain yang membuat hati Suhadi dan Maryam terasa pilu, yaitu Sekar. Putri keduanya itu sungguh terpuruk. Dia hanya mengurung diri dalam kamar. Tidak pernah bicara pada siapa pun kecuali menangis dan meracau tidak jelas. Badannya terlihat semakin kurus. Kulitnya pucat dan tidak pernah terlihat senyuman manis dari bibirnya. Sekar layaknya mayat hidup. Dia hanya akan makan jika Maryam yang menyuapi. Kadang masih terdengar suara tangisan bahkan teriakan dari dalam kamarnya. Jiwanya benar-benar terguncang. Andaikan waktu dapat diputar kembali tentu Maryam tidak ingin melihat anaknya seperti ini. Namun, kenyataannya semua telah terjadi dan mereka hanya bisa terus bersabar dalam menjalani apa yang telah di gariskan oleh Sang Pencipta.

"Nduk, bagaimana kalau kamu tinggal di pesantren untuk beberapa bulan?" tanya Maryam saat menyisir rambut Sekar.
Baru saja dia memandikan putri bungsunya itu.

Tidak ada jawaban apa pun. Maryam hanya bisa bersabar. Sehari-hari Sekar hanya diam. Siapa pun yang mengajak bicara pasti hanya keheningan yang menjawabnya.

"Ibu ndak tega lihat kamu seperti ini."
Maryam mulai terisak. Walaupun sudah susah payah dia berusaha menahan air matanya, tapi tetap tidak bisa. Hatinya sakit setiap kali melihat Sekar.

"Ayah dan ibu sudah bermusyawarah, mungkin dengan tinggal di pesantren keadaan kamu jadi lebih baik. Kamu bisa lebih ikhlas menerima semua ini."

Maryam mengusap rambut Sekar penuh kasih sayang. Dia seperti kehilangan putrinya yang dulu. Putrinya yang selalu ceria, penurut dan berbakti. Kini Maryam hanya bisa menatap tubuh rapuh Sekar. Tubuh yang kehilangan semangat hidup.

"Assalamualaikum, Bulek?" ucap seorang wanita yang telah berdiri di depan pintu kamar Sekar.

"Wa'alaikumsalam... Nduk Tyas. Sama siapa ke sini?"

"Sama Mas Randu, Bulek. Bagaimana keadaan Sekar?" tanya Tyas yang kini telah masuk ke dalam kamar.

"Sama saja, seperti biasanya." Maryam menghela napas berat.

"Yang sabar ya, Bulek." Tyas mengusap punggung tangan Maryam.

"Oh ya, Nak Randu mana? Kok nggak diajak masuk, mau memeriksa Sekar 'kan?"

"Ada di ruang tamu sedang ngobrol sama Paklik."

Randu adalah suami Tyas. Dia adalah dokter umum. Sejak keadaan Sekar terpuruk, Randu-lah yang memeriksa keadaannya setiap tiga hari sekali. Bahkan Randu pernah menyarankan agar membawa Sekar ke panti rehabilitasi. Tetapi ditolak oleh Maryam dan Suhadi. Karena mereka pikir Sekar itu tidak gila. Batinnya hanya sedikit terguncang. Orang tua mana yang akan tega menjebloskan anak kandung mereka sendiri ke dalam rumah sakit jiwa. Memang keadaan Sekar saat ini bisa dibilang tidak baik. Namun, tetap saja mereka takkan pernah tega.

R E T A K  (TAMAT-SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang