16. RINDU DAN DENDAM

142K 9.6K 93
                                    

"Rindu dan dendam, manakah yang akan menang?"

~***~

Hujan turun begitu deras akhir-akhir ini. Sekar duduk di samping jendela sambil menatap butiran air yang turun membasahi bumi. Walaupun sudah tidak begitu deras tapi masih saja membuat orang-orang enggan untuk keluar rumah.

Satu minggu sudah Sekar memikirkan tawaran dari Bu Nyai. Dia bimbang. Sekar ingin menghubungi keluarganya terutama sang Ibu untuk meminta pendapat sekaligus persetujuan. Dia bingung untuk mengambil keputusan. Keadaannya pun baru saja pulih.

Sebenarnya dalam lubuk hati yang paling dalam, Sekar merindukan suasana rumah. Merindukan kumpul bersama ayah dan ibunya. Bercengkerama dengan keponakan-keponakannya yang lucu-lucu. Apalagi Tyas juga kabarnya baru saja melahirkan. Dia ingin sekali pulang dan berada di rumah saja.

Namun, ada hal membuatnya enggan untuk mewujudkan kerinduannya tersebut. Dia takut rasa sakit dalam hatinya akan kembali lagi. Sekar masih menyimpan rasa sakit itu sendiri. Dia hanya mencoba untuk ikhlas. Belajar untuk mengikis rasa sakit dan dendam dalam hatinya.

Sekar menghela napas. Mengambil ponselnya. Mencari kontak ayahnya. Dia ingin menghubungi orang tuanya. Sekar sudah memantapkan keputusannya.

Pada sambungan kedua, panggilan teleponnya diangkat. Suara tegas milik sang ayah seolah memberikan kekuatan untuknya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam, Ayah."

Sekar mengatur napasnya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Bagaimana kabarmu, Nduk?" tanya Suhadi. Sudah dua minggu dia dan Maryam tidak datang untuk menjenguk Sekar.

"Alhamdulillah, Sekar sehat, Ayah. Bagaimana Ayah dan Ibu?"

"Kami sehat juga, Nak."

"Alhamdulillah."

"Ada apa Nduk? Tidak biasanya kamu telepon ke rumah."

Memang tidak pernah Sekar menghubungi rumah selama berada di pesantren. Namun, sebaliknya Suhadi dan Maryam yang sering menelepon ke pesantren.

"Sebentar ini ibumu ingin bicara."

Suhadi menyerahkan teleponnya pada Maryam. Wanita berjilbab itu tidak sengaja mendengar percakapan suaminya ketika memanggil nama Sekar. Perasaan Maryam menjadi khawatir. Dia segera menghampiri Suhadi dan meminta untuk bicara dengan Sekar.

"Apa yang terjadi, Nduk? Kamu baik-baik saja?" Terdengar suara Maryam begitu cemas.

"Alhamdulillah, Sekar sehat Bu. Sekar hanya kangen sama Ayah dan Ibu."

"Maafkan kami, Nduk. Dua minggu ini ayahmu ada diklat jadi tidak bisa menjengukmu."

"Tidak apa-apa, Bu. Sekar ngerti, Bu Nyai sudah memberitahu beberapa hari yang lalu."

"Ada apa? Tidak biasanya kamu telepon ke rumah." Maryam masih penasaran kenapa tiba-tiba Sekar menelepon.

Sekar menghela napasnya. Mencoba untuk tenang. Dia takut keputusannya akan mengejutkan kedua orang tuanya.

R E T A K  (TAMAT-SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang