17. LEMBARAN BARU

138K 9.1K 76
                                    

"Membuka lembaran baru bukan berarti melupakan begitu saja kenangan lama."

***

Keesokan paginya setelah semalam meminta petunjuk pada Sang Pencipta serta memohon doa restu untuk keputusan yang telah diambilnya, Sekar kemudian memberi tahu keputusan tersebut kepada Bu Nyai.

"Ibu selalu mendukung apapun itu keputusan kamu. Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Alhamdulillah mereka setuju dan memberikan doa restu. Walaupun pada awalnya mereka sedikit tidak rela dan menyuruh Sekar untuk pulang saja."

Tampak wajah Sekar sedikit menunjukkan ekspresi sedih karena keputusan yang telah diambilnya.

"Kalau kamu ragu, ya ndak usah dipaksakan." Bu Nyai mengusap kepala Sekar yang dibalut jilbab hijau muda.

"Sekar sudah berpikir dan meminta petunjuk pada Allah. Dan Sekar yakin ini adalah jalan terbaik agar bisa menjalani hidup yang baru."

"Beneran. Sudah ikhlas. Sudah ridho jauh dengan orang tua?" tanya Bu Nyai memastikan.

"Insyaallah Sekar ikhlas dan ridho."

"Ya sudah kalau begitu. Ibu di sini cuma bisa memberikan solusi dan mendoakan agar kamu mendapatkan hidup yang bahagia nanti di sana. Dan jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Allah, karena hanya kepada-Nya lah tempat kita kembali."

"Injih, Bu Nyai. Sekar akan ingat selalu nasihat yang diberikan oleh Bu Nyai dan seluruh pengurus pesantren ini."

"Alhamdulillah."

Sekar kemudian mencium punggung tangan wanita sholeha tersebut lalu memeluknya. Karena bagaimana pun juga beliau sudah seperti ibu kedua baginya.

*****

"Kamu benar-benar sudah memikirkannya, Nduk?" tanya Maryam pada anak keduanya.

Dia dan Suhadi tengah berada di pesantren untuk menjenguk Sekar sekaligus melepas kepergiannya putri bungsunya untuk pergi ke Jakarta.

"Sampun, Bu," jawab Sekar dengan tegas dan jelas.

"Apa ndak bisa kamu batalkan?" Maryam mencoba membujuk Sekar agar membatalkan rencananya tersebut. Jujur, Maryam belum ikhlas untuk melepaskan putri kecilnya tersebut. Apalagi dengan keadaan Sekar yang baru saja pulih.

"Ngapunten, Bu. InsyaAllah, ini sudah menjadi tekad Sekar."

Maryam terlihat sedih.

"Sudahlah, Bu. Kalau itu sudah menjadi keputusan Sekar." Suhadi mencoba menenangkan istrinya tersebut.

"Tapi, Yah...."

"Maafkan Sekar, Bu."

Sekar pun bersimpuh di depan Maryam. Kepalanya, dia taruh di atas pangkuaan ibunya.

"Sebenarnya ibu ndak mau dan ndak rela, kalau kamu pergi jauh ke Jakarta." Maryam mengusap lembut puncak kepala Sekar yang dibalut kerudung.

"Maafkan Sekar, Bu. Sekali lagi, maafkan Sekar." Akhirnya air mata Sekar tumpah juga di pangkuaan Maryam. Begitu juga dengan Maryam, dia sudah sejak tadi terisak.

R E T A K  (TAMAT-SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang