(4) Jangan Kembali, Lagi

13 0 1
                                    

10 November 2015

"Sampai kapanpun, bayangan akan tetap menjadi bayangan.
Tidak pernah naik pangkat.

Kemanapun kita pergi, dia akan selalu mengikuti jejak langkah kita.
Bayangan akan selalu dibelakang, selalu mengikuti kita berlari.
Bayangan yang selalu ada, tapi enggak akan pernah bisa lo genggam.

Hanya saja lo harus tersadar, apa itu bayangan?
Lo harus lupain kalo bayangan itu pernah ada.
Caranya?
Jangan pernah memandang ke belakang untuknya.
Terus maju ke depan, jangan pedulikan.
Dia akan terlupakan dengan sendirinya.."

Aku menangis saat Caca berkata layaknya seorang puitis pinggiran yang selalu mendapat tepukan tangan serta apresiasi dari kerumunan orang.
Air mataku tiba-tiba menetes ditengah pas dibawah hitam bola mataku yang dipenuhi genangan.
Dia yang semula kering, kini basah mengeluarkan derasnya bak badai hujan yang kencang ditebas angin.

Aku sadar, dia harus pergi.

Caca, sahabatku yang selalu bertekad dengan hidupnya. Dia terlalu perfeksionis. Dia bilang,

"Hidup kita dimulai dari kita, sendiri.
Lalu dijalani oleh kita. Dan diakhiri juga dengan kita.
Yang harusnya sudah diisi oleh kita.
Aku dan kamu.."

Lalu seketika dia tertawa dan membantuku mengusap mataku yang basah karena aku masih belum yakin kalau aku harus siap untuk melupakannya.
Tatapannya yang bersarang dalam benakku, selama 2 tahun lebih lamanya. Tanpa bosan, tanpa pernah mengharap balasan dari orang itu, aku jatuh cinta padanya hingga aku lupa kalau aku butuh kebahagiaan.

"Cukup lo nangis karena penyesalan.
Gak ada kata, gue harus butuh waktu lagi buat jatuh cinta.
Jatuh cintalah pada saat yang tepat.
Menepi kalo emang harus menepi.
Jangan berhenti ketika hati belum lelah.
Melangkah maju tidak harus berjalan di aspal yang mulus, kan?"

Bibirku melekuk selebar-lebarnya. Aku berusaha menahan rasa sesak yang ada di dada. Sakit itu terasa, jika ditahan.

Nafasku seakan berangsur-angsur membaik jika aku menarik dalam-dalam nafasku itu.

Sedikit lega terasa.

"Apa gue boleh jatuh cinta lagi?"

"Yang bilang gak boleh siapa, cantik?"

"Tapi gue takut!"

"Takut apa?"

"Takut kalo suatu saat nanti kejadiannya bakal sama.."

"Yakin sama keputusan lo ya. Jangan takut lagi."

Aku menangis lagi. Kali ini suaraku tersedu-sedu. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Didalam itu aku menangis. Mengeluarkan air mata sebanyak-banyaknya. Aku bisa saja teriak, tapi aku takut membangunkan tetangga sebelah. Maklum, kosan Caca hanya berukuran 3x5 meter. Jika ada suara aneh sedikit saja, bisa terdengar nyaring hingga ke sebelah.

Aku mulai membuka mataku yang agak berat. Merasakan air yang menempel di sela-sela jariku. Sepertinya merah mataku sudah mengalahkan tomat matang punya Mama yang biasa digiling untuk dijadikan sambel goreng.
Mataku sembab sekali. Becek dimana-mana. Hidungku pun rasanya tebal. Lembaran tisu satu persatu berhamburan dimana-mana.

Sudah, aku lelah. Aku ingin tidur.

Letih rasanya bersedih-sedih tanpa imbalan, sepatutnya. Rindu yang tak seberapa, membuat hancur dahaga. Aku hanya ingin hidup tenang, tanpa bayangan. Aku ingin seperti mereka yang mencintai dan dicintai, oleh pasangannya. Berhenti mengharap dan berhenti muli sekarang.

Semoga jejakmu itu tidak pernah muncul lagi!

Cinta Ini Untuk Siapa?Where stories live. Discover now