(6) Senja, Apalah Itu!

9 0 0
                                    

27 Maret 2016

Tepat pukul 17.15 wib, aku menutup laptopku pertanda aku sudah menyelesaikan kebiasaanku sore ini.

Iya, semenjak anak laki-laki itu pergi jauh, aku lebih suka menghibur diriku dengan menulis.
Aku menulis tentang apa yang ada dalam diriku. Apapun yang terlintas, aku tuangkan dalam ketikan kata perkata, disana.

Aku tidak peduli, seberapa banyak aku telah menuliskan cerita dalam buku elektronikku itu. Selagi aku sudah puas melimpahkan seluruh yang ada dalam kepalaku, aku lalu pulang tepat jam 17.30 bahkan sampai petang hari.

Tadi siang langit cerah. Tidak mendung seperti kemarin.

Dari belakang kampus, mudah saja jika ingin menemukan cahaya merah tenggelamnya matahari.

Sayangnya, aku tidak pernah mendapati eloknya cahaya merah itu. Jangankan melihat dengan sengaja menunggu, sepintas ada warna kuning kejinggaannya nampak pun, tidak pernah kusapa.

Aku tidak suka memperhatikan kehadiran senja.
Aku tidak suka keelokannya.
Aku juga tidak suka warna orange menyalanya.

Setiap orang-orang ramai memuja keindahan kuning keemasannya itu, aku justru menyepelekannya.

Tidak peduli. Apa istimewanya? Tidak ada yang spesial bagiku. Hanya waktu pergantian dari siang ke malam saja, kan? Yang ada digigitin nyamuk sore-sore diluar, pikirku.

Aku pernah mendengar seseorang berkata,

"Senja memang tidak indah, bagimu.
Tapi, dia mampu mengorbankan keindahannya demi seseorang yang menantikan cahaya di kegelapan malam..

Aku ingat, dia menatapku tegas. Mata sayunya seperti ingin menusuk pisau tajam ke hatiku,

Cahaya bintang yang bersinar terang." lanjutnya.

Aku hanya diam ketika dia berbicara kalimat itu pertanda dia sangat mencintai warna jingga dilangit sore. Kupandangi serius wajah tampannya ketika ia menengadah keatas langit. Senyumnya dikala itu, masih belum bisa terlupakan.

Salut!

Dengan mengerinyitkan dahi, aku tetap kekeuh dengan pendapatku. Secantik apapun itu senja, tetap saja aku tidak suka, sahut benakku.

Entah kenapa aku tidak suka pada kecantikannya. Bukannya iri. Mungkin karena satu alasan yang konyol, jadi aku tidak suka, sampai saat ini.

"Kalo udah maghrib, pulang! Gak baik masih diluar rumah jam-jam segini. Nanti dibawa wewe gombel sore sore.."

kata Mama yang sering mengomeliku kalau aku masih keluyuran ketika sore sudah mau habis. Herannya, hal itu menjadi tertanam di otakku sampai sekarang. Bahkan, kata-kata manis anak laki-laki itu juga.

Sore ini aku sengaja berdiri menatap langit di taman belakang kampus. Kata teman-temanku, tempat yang bagus untuk melihat matahari turun, ya disini. Padahal aku sering duduk disini, di taman yang penuh pohon rambutan.

Kebetulan, ada bangku tembok yang masih kosong. Lumayan untuk aku duduk sambil melihat langit sore yang berhawa hening, cerah dan berwarna kekuningan, ada pada bayanganku.

Semoga ingatanku tidak membawaku ke waktu dimana dia sempat bersamaku, kala itu.
Melihat langit sore secara tidak sengaja, diatas motor matic yang terjebak macet di jalanan arah Salemba-Slipi.

"Dari flyover ini juga bisa ngeliat sunset. Enggak harus dipantai aja, kan? Tuh liat. Cantik kan warnanya?" katanya waktu itu.

Ah, betul saja!

Dalam beberapa detik aku kembali teringat, hatiku langsung tersentuh dan setika aku langsung memejamkan mata. Teringat terus dan terus suaranya yang sedikit agak serak. Dia mengatakan kalimat itu. Manis sekali.

Air mataku, mulai menetes. Aku mematung. Tidak bisa bergerak kemana pun selain pikiranku yang berkelana memikirkan kehadiran dirinya.

Cahaya merahnya mulai habis. Pelan tapi pasti. Matahari itu, detik demi detik menghilang. Tidak ada lagi cahayanya. Aku mulai tidak bisa memandang karena lampu taman yang ada belum dinyalakan petugas. 

Senja, sunset atau apalah itu!
Aku tidak pernah suka padamu. Aku juga tidak akan pernah sudi menyukaimu. Dan aku, tidak akan berani untuk mencintaimu meski rupamu yang selalu dicintai manusia tak beridentitas!

Padamu juga..
Arkana,

Cinta Ini Untuk Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang