(7) Sejenak Tentang Dia

10 0 0
                                    

Sudah cukup. Jangan pernah menangis lagi. Biarkan dia pergi. Toh, gak akan ada kabar tentangnya. Tidak apa-apa. Aku bisa dan akan terbiasa..

Aku mulai membuka mataku, pelan-pelan. Rasanya basah.

Aku beranjak dari bangku tembok yang menemani selama sore tadi. Tanganku mengelap sudut mataku yang tadi tergenang air. Tapi, bahuku agak sedikit keberatan membawa tas yang lumayan berat hingga bahuku terasa kram.

Duduk lagi, sebentar. Pikirku, sambil melonjorkan kedua kakiku sebentar.

"Barang lima belas menit dulu, semoga kramnya menghilang" sautku yang sambil meregangkan otot kakiku dengan menyelonjorkannya.

***

14 Agustus 2014

"Ini surat pindah kamu. Selamat ya kamu diterima disana. Pasti orang tua kamu bangga kamu bisa sekolah musik kesana. Sukses buat kamu ya, Arkana."

"Terima kasih banyak, Bu. Doa ibu jalan terang bagi saya. Sekali lagi terima kasih banyak, Bu."

Tidak lupa dia mencium punggung tangan kanan ibu Novi ketika mendapat surat keterangan pindah kampus dari pihak akademik.

Bahagia terlihat betul diwajahnya. Sumringah tampak jelas dibibirnya.

Dia pun mulai pergi, melangkah meninggalkan ibu Novi, dosen yang teramat sayang padanya.

Arkana Bima Sadewa, diterima di Fakultas Artistik dan Musik di salah satu Universitas Swasta di Perth, Australia. Dia ikut ujian penyaringan mahasiswa berbakat dalam bidang musik.

Ayahnya selalu mendukung prestasi Arkana. Padahal, ayah Arkana adalah perwira Polisi yang jabatannya tidak bisa dipandang oleh sebelah mata.

Ayah Arkana sangat menyayanginya karena prestasinya dalam bidang musik. Pantas, ketika berita Arkana diterima, ayah Arkana langsung datang menemui rektor kampusku.

Dia terlihat sangat bahagia.

Akhirnya Arkana pergi, sehari setelah bertemu denganku. Dia tidak mengucapkan apa-apa. Dia hanya bilang ingin bertemu denganku, itu saja. Dia juga menjelaskan semuanya, dari A sampai Z.

Aku sedih. Tapi, tidak aku perlihatkan.
Malam itu kami berdua berpisah karena arah pulang kami berbeda arah. Kami juga tidak menoleh ke belakang, satupun. Kami melangkah maju, terus kedepan. Tidak ada kalimat selamat tinggal. Yang ada hanya,

"Gue gak lama disana. Palingan cuma dua tahun. Dapet ijazah, gue langsung pulang. Syukur kalo ada libur, gue bisa main ke Jakarta.."

"Iya. Ya jangan lupa oleh-olehnya aja kalo kesini.."

"Beres itu, La.."

Setelah itu kita berdua saling berdiam, kehabisan topik. Dan kami, mulai pergi meninggalkan satu sama lain.

"See you ya, La. Kita bakal ketemu lagi kan?" Katanya, sambil memetik kunci dari dalam saku jaketnya. Kulihat dia mulai memasukan kunci itu dan menyalakan mesin motornya.

"Iya.." Sautku. Suaraku sedikit agak berat karena ingin melepasnya pergi. Semoga saja dia tidak menyadarinya.

Dia pun tersenyum. Lalu, dia pergi.

Dia sungguh lihai dalam menarik perhatianku, dua tahun belakangan ini. Setelah sesaat Mas Bayu mengenalkannya padaku, waktu itu.

Dia pun sepertinya berusaha keras untuk mengenalku. Walaupun aku berusaha menampik setiap usaha yang ia lakukan untuk mendekatiku.

Kupikir, mungkin dia cuma iseng.

Siapa sangka, karena perkenalan itu kita menjadi dekat. Dia menjadi sering menelponku dengan berbagai alasan. Menghubungiku sering, meski lewat pesan messenger.

Satu momen yang tidak akan pernah aku lupakan, seumur hidupku. Dia memintaku untuk menemaninya ke toilet laki-laki. Disana sepi. Tidak ada seorang pun, bahkan penjaganya. Dia memintaku untuk menjaganya didepan pintu. Lalu dia berdiri membelakangiku. Setelah selesai, dia memberiku aba-aba,

"Udah, La. Udah selesai. Lo boleh liat ke belakang.."

"Gitu aja takut. Gue cewek tau! Kalo diteriakin gimana?" Kataku, dengan badan dan wajah yang masih membelakanginya.

***

Waktu sudah menunjukan angka 18.30. Pantas saja handphoneku sudah lowbatt.

Entah mengapa, bibirku senyum-senyum ketika tidak sengaja mengingat kejadian itu. Dua tahun sejak ia pergi, aku sadar kalau aku mulai merindukannya.

"Mau ngecharge dimana ya? Disini kan gak ada colokan.." kataku, sambil aku bergegas merapihkan barang-barangku yang masih tergeletak di bangku tembok.

Tanpa sengaja, tanganku terbelit tali tas dan handphoneku terjatuh.

Aku panik.

Aku meletakkan kembali tasku lalu mengambil bagian-bagian ponselku yang sudah berarakan kemana-mana karena membentur batu-batuan kerikil putih yang mengitari bangku tembok.

Sambil terduduk mengambil bagian-bagian ponselku yang terpisah hingga kemana-mana, aku mendengar ada seseorang menyapaku dengan suara yang tidak asing yang pernah aku dengar,

"Ngapain lo jam segini masih disini..?"

Cinta Ini Untuk Siapa?Where stories live. Discover now