(9) Tanda Tanya (?)

4 0 0
                                    

"Pagi Pak Herman,"

"Pagi, mba Shahla. Wah, ceria sekali. Abis menang lotre ya Mba?"

Kini, entah alasan apa, aku jadi lebih sering tiba dikampus pagi-pagi. Padahal hari-hari biasanya, aku berangkat dari rumah sekitar pukup 12.00 siang. Sesampai dikampus sekitar pukul 13.15.

Sekarang, sebelum pukul 09.00 pagi, aku selalu sudah sampai dengan santainya diparkiran kampus.

Pagi ini memang terlihat lebih cerah dari dua hari yang lalu.

"Lotre? Ceria? Masa sih pak?"

"Beda aja gitu dari hari biasanya. Mba Shahla, udah sarapan?"

"Udah pak. Bapak?"

"Udah mba, tadi dibawain sarapan sama mas Ader."

Kulihat ada seonggok bungkus nasi coklat di meja pak Herman yang sudah diremuk, lengkap dengan sendok besi disebelahnya.

Ader? Dia udah dateng rupanya!

Aderyan atau Ader memang selalu juara jika untuk kehadiran. Setiba dikampus, dia tidak pernah absen membawakan sebungkus nasi uduk lengkap untuk sarapan pak Herman.

"Saya naik dulu ya Pak."

"Oh iya mba, monggo."

Ruangan kelasku ada di lantai dua. Gedung kampusku terdiri dari enam lantai. Kelas Ader ada di lantai tiga. Tapi, aku tidak pernah ke atas sana. Dengar-dengar, fakultas DKV kebanyakan mahasiswa laki-laki, jadi aku sungkan untuk naik ke lantai tiga walau hanya sekedar lewat saja.

Jadwal kuliahku hari ini tidak padat, seperti biasanya.

Langkahku terhenti karena lift yang biasa digunakan untuk naik ke lantai atas, rusak. Aku melihat ada tulisan "LIFT SEDANG RUSAK" didepan pintu besinya. Agak berjarak satu meter kurang juga ada tali diikat besi, agar orang-orang tau kalau lift tersebut rusak.

"Yah, rusak! Gimana nih? Terpaksa deh ah naik tangga lagi!"

Disebelahnya ada tangga darurat untuk alternatif mahasiswa menuju keatas dan kebawah jika lift tiba-tiba rusak.

Wajahku menyerungut sembari langkahku perlahan menaiki anak tangga satu persatu. Tanjakan demi tanjakan kulalui. Tanpa sadar kecepatanku berkurang karena sedikit aku mulai kelelahan.

Ah, capek! Dua lantai aja bikin sesak! Kataku sambil menyandar di tangan tangga yang berwarna keemasan, motifnya berliuk-liuk.

Aku menarik nafas dalam-dalam untuk mengembalikan kekuatanku untuk kembali menaiki anak tangga.

Akhirnya aku sampai di lantai dua. Dengan bahagia campur dengan rasa lelah aku membuka gagang pintu kelas. Aku terkejut karena pintu tersebut masih terkunci.

"Yah, kok masih dikunci sih?"

***

"Lo abis dari mana, La? Kaya orang abis ngiterin kolam bunderan HI tau gak lo"

"Nih ya, gue bawa laptop, buku Filsafat Komunikasi yang tebelnya minya ampun, naik turun tangga. Tuh lift pake mati. Berantakan banget gak sih gue?"

Taman belakang kampus memang tempat paling nyaman sejagad raya setelah kamarku. Udaranya yang terlalu sejuk membuat kami para penunggunya, enggan untuk beranjak dari tempat ini. Begitu juga, Caca dan Aderyan.

"Bagi dong Ca, haus nih!"

Tanpa basa-basi, aku langsung merebut minuman soda milik Caca, sahabatku. Dahagaku sedikit kering kerontang sehabis dari lantai dua sampai. naik turun tangga tadi.

"Hih, pelan-pelan tauk!"

"Hehehe.."

"La, gue ke perpus dulu ya. Mau balikin buku. Udah kena denda soalnya."

"Lift mati, Ca. Kesini bawa cemilan ya.."

"Okey cantik!"

Bergegas Caca meninggalkanku sendirian.

Sambil menyeruput minuman soda tadi, mataku tertuju ke seseorang yang duduk dibawah pohon rambutan muda. Kali ini dia mengenakan jaket boomber merah dan celana jeans hitam. Kameranya tidak ada. Aku tidak melihat kameranya mengalung dilehernya, kali ini.

Sambil meneguk minuman soda yang tersisa dimulutku aku menghitung sampai sepuluh. Dalam hitungan kelima, pasti dia menoleh kearahku.

Satu..

Dua..

Tiga..

Empat..

Menuju hitungan kelima, aku sengaja memejamkan mataku. Agar pada hitungan kelima, aku melihat dia sudah tidak ada dimana dia duduk sekarang.

Dia biasanya menghilang tanpa terduga.

Ketika aku menghitung hitungan kelima, dengan sengaja aku membesarkan volume suaraku, bersamaan dengan aku membuka kedua mataku,

Lima..!

Hah, betul kataku, seketika dia menghilang. Dia sudah beranjak dari bawah pohon rambutan muda itu. Mungkin ketika aku menghitung, Aderyan pergi tanpa sepengetahuanku.

Kemana dia? Harusnya dia itu menoleh, bukan justru pergi!

Cinta Ini Untuk Siapa?Where stories live. Discover now