Part 3

64.7K 3.4K 73
                                    

"It's not that I'm horny all the time. It's just that you're always fucking sexy."
~~~~💕💕~~~~

Seandainya saja lemari di hadapannya tak terisi penuh, Flora ingin sekali meringsek masuk lalu mengunci diri selamanya. Dan jika bisa, dia ingin menanggalkan wajahnya kemudian melemparkannya keluar jendela.

Flora memang sudah memutuskan untuk melakukan pemanasan yang Dicko sarankan. Hanya saja, dia tak yakin harus bagaimana untuk memulai kegiatan yang satu itu. Dia tak punya panduan sama sekali! Menontonnya di film romantis? Mana pernah. Film biru? Jangan harap.

Dia mengira, orang-orang pasti membuka pakaian mereka sebelum memulainya. Dan dia melakukan hal itu dengan lugunya beberapa menit yang lalu, seraya menyingkirkan rasa malu yang sempat menghinggapinya saat Dicko tanpa sengaja melihatnya hanya dalam balutan pakaian dalam.

Namun sekarang, rasa malu menghantamnya begitu dahsyat, berkali-kali lipat dari sebelumnya. Isak pelan pun lolos dari bibirnya ketika sebuah prasangka datang melecut. Setelah apa yang terjadi, Dicko pasti berpikir dia begitu menginginkan pemanasan terkutuk itu.

"Flo ...."

Suara lembut Dicko yang sedikit bergetar membuat Flora menelan isakannya. Dia tak boleh menangis! Pasti akan sangat konyol jika dia menangis hanya karena hal memalukan seperti itu. Flora menggigit bibirnya sedikit keras, berusaha agar tak ada sisa-sisa isakan yang berhasil lolos.

"Flo ...?" panggil Dicko lagi.

Flora belum mau menyahut. Hening menggantung cukup lama hingga membuat dia berpikir, Dicko pasti sudah meninggalkannya diam-diam. Namun kemudian dia tersentak saat merasakan dua lengan tiba-tiba memeluk sekeliling tubuhnya dengan erat.

"Berhentilah bersikap malu-malu begitu. Nggak ada yang malu-maluin di sini ...."

Mendengar kata-kata tak terduga yang Dicko ucapkan dalam bisikan parau itu, membuat Flora terkesiap. Terlebih saat dia merasakan sesuatu yang sekeras batu menekan bagian belakang tubuhnya. Beruntung, dia cukup waras untuk tak berbalik dan mencari tahu.

"Gi-gimana gue nggak malu? Lo-lo bilang mau pemanasan ... makanya gue--" Flora terbata-bata dengan mata memejam dan wajah memerah. "Tapi lo-lo malah suruh gue berhenti. Mau lo apa, sih?"

Pelukan Dicko semakin erat. Dia mendesah tertahan, berjuang keras agar sensasi aneh namun menyenangkan yang masih menjalar di sekujur nadinya tak membuat akal sehatnya goyah.

"Gue memang ingin melakukan itu sama lo. Sangat. Tapi setelah gue pikir-pikir, lebih baik nggak usah sekarang," balas Dicko dengan gigi beradu. Sialnya, saat mengucapkan itu, otaknya justru menayangkan ulang adegan pelepasan helai demi helai kain yang melekat di tubuh kekasihnya. Dan sayangnya, tombol berhenti di dalam sana sedang macet total sehingga bayangan yang sangat erotis di benaknya tersebut gagal diredam.

"Kenapa?"

Bagai terkena sentruman mematikan, Dicko melepas pelukannya. Namun bukannya menjauh, dia justru membalik tubuh Flora lalu mendekatinya hingga membuat gadis itu menyandar di pintu lemari. Kemudian dia menciumnya tanpa peringatan. Ciuman yang dalam dan menuntut.

Flora pun membalas. Meski gemetar atas tindakan Dicko yang mendadak, dia membiarkan saat Dicko menekan tubuhnya dengan kuat, untuk memberitahukan kepadanya bahwa ada sesuatu yang tak mampu lagi lelaki itu tahan sedang mendesaknya begitu kencang.

Seketika, bayangan malam laknat itu berkelebat di benaknya. Waktu itu dia juga merasakan organ seksual Dicko yang mengeras. Persis sekali. Dan tanpa bisa dicegah, sesak datang menghimpit dadanya karena saat itu, Dicko sedang membayangkan gadis lain ....

Turn Up (Sekuel Flora-Dicko) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang