Part 11

50.2K 2.8K 115
                                    

Flora sengaja memasang ekspresi datar. Meski melihat wajah laki-laki di hadapannya ini ibarat mereguk air di tandusnya padang sahara, dia tetap tak bisa memberi sambutan dengan senyum manis dan pelukan erat. Walaupun hal itu cukup aman dilakukan mengingat mereka sedang berada di ruang istirahat pribadinya.

Dia masih kesal pada suaminya sejak acara makan malam itu dan berniat membalas Dicko dengan ikut-ikutan bersikap tak peka. Menggunakan caranya sendiri tentunya.

"Ada apa, sih? Gu--"

"Eits!"

Sentilan cukup keras yang dialamatkan Dicko pada dahi istrinya membuat kepala gadis itu sedikit tersentak ke belakang.

"Ingat perjanjian kita." Dicko tersenyum seraya menaik-turunkan alisnya.

Flora mendengus. Tentu saja dia ingat kesepakatan yang mereka buat di dapur tiga hari yang lalu itu, mengganti panggilan satu sama lain seperti yang diperintahkan Cecilia. Walaupun hingga hari ini mereka masih sering terlupa, masing-masing harus saling mengingatkan, seperti yang baru saja Dicko lakukan.

"Iya, iya, tau! Kamu ngapain ke sini, sih? Ini masih jam kerja, Ko. Kalau mau ngobrol, ntar malem aja kan bisa."

Sentilan berikutnya mendarat kembali di kening Flora. Gadis itu memicing sambil meringis serta memelotot ke arah suaminya.

"Jangan panggil nama. Pake 'Sayang' atau 'Yang'." Senyum Dicko terkembang sempurna, menampakkan gigi-geliginya yang putih bersih.

Itu peraturan mengada-ada yang Dicko buat. Flora sebenarnya tak keberatan jika panggilan seperti itu diucapkan sesekali. Namun, Flora merasa itu berlebihan ketika diucapkan setiap saat.

Bola mata Flora bergulir. "Dari tadi lo--eh, kamu tuh buang-buang waktu istirahat aku tau, Ko."

Dicko terkekeh saat melihat bibir Flora maju beberapa senti. Dan tanpa bisa dicegah, Dicko mulai membayangkan seandainya anggota wajah istrinya yang satu itu menyatu dengan bibirnya saat ini.

"Sengaja. Kamu tadi nggak mau nemenin aku makan siang karna sibuk, kan? Sekarang waktu istirahat makanya aku datang lagi. Emangnya salah, kalau aku pengin ketemu istri sendiri?"

"Enggak. Tapi kan ini masih di tempat kerja. Jangan mentang-mentang lo--kamu punya saham di sini, trus bisa sesuka hati kamu nemuin aku. Nggak enak sama yang lain tau. Emangnya ada perlu apa, sih? Penting banget ya, Pak, lihat muka istrinya terus-terusan?"

Pentinglah, batin Dicko. Namun, dia tak ingin menyuarakannya. Hanya akan menambah kesan kekanak-kanakan. Dan dia tahu, Flora tak suka jika dia bersikap seperti itu.

"Sorry, deh." Lelaki itu tersenyum. "Tadi siang aku ke sini karna mau bilang aku bakalan berangkat ke Bandung malam ini. Tadi pagi pihak kampus baru konfirmasi ke aku. Nah, berhubung kamu tadi lagi sibuk, jadi aku datang lagi sekarang."

"Kamu 'kan bisa nelepon."

"Ponsel kamu nggak aktif."

Flora ber-oh lalu bertanya dengan nada yang sengaja dibuat terkesan acuh tak acuh, "Ke Bandung ngapain?"

"Ada seminar internasional selama dua hari."

Gadis itu mengangguk-angguk tanpa membalas tatapan suaminya. Dia lantas berbalik, hendak mengambil tas tangannya yang tersimpan di dalam lemari.

"Trus dilanjutin workshop. Jadwalnya selama satu bulan."

Gerakan tangan Flora yang sudah setengah jalan meraih gagang pintu lemari terhenti seketika. Satu bulan, katanya?

"Aku ditunjuk jadi salah satu pengajar di workshop itu. Bareng dosen dari luar negeri juga," jelas Dicko tanpa diminta, ada nada bangga terselip dalam suaranya.

Turn Up (Sekuel Flora-Dicko) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang