Part 16

58.6K 2.8K 272
                                    

"And should this be the last thing I see
I want you to know it's enough for me

Cause all that you are is all that I'll ever need."

(Tenerife Sea by Ed Sheeran)

💕💕💕

Setahun kemudian....

Malam masih pekat ketika Flora membuka mata dengan tubuh tersentak. Suara dengkur yang terdengar seperti gergaji listrik tengah membelah sebatang pohon adalah biang keladinya. Perempuan itu menoleh ke samping kanan. Dengan bantuan cahaya temaram dari lampu tidur, mendapati suaminya tertelantang dengan mulut terbuka.

Flora otomatis menggerutu. Seandainya ada yang mau repot-repot memberitahukan padanya sebelum menikah bahwa risiko terbesar tidur sekamar dengan laki-laki adalah dengkuran supernya, barangkali dia takkan begitu sedih saat Dicko memutuskan pisah kamar di awal pernikahan mereka.

Sebenarnya itu tak selalu terjadi, atau mungkin saja sering saat dia sedang pulas-pulasnya hingga tak menyadari. Akan tetapi, kemunculannya kadang-kadang di waktu-waktu seperti sekarang. Ketika dia susah tidur dan rasanya baru akan terlelap, suara itu sekonyong-konyong bergema begitu kencang.

Flora mengingatkan diri untuk segera membeli penutup telinga. Masih kesal, tangannya terjulur ke hidung Dicko lalu menjepitnya dengan jempol dan telunjuk.

Suara bising itu terhenti dan tak berapa lama kemudian kepala Dicko bergerak ke kiri dan kanan. Gumam sengau keluar dari bibirnya. Flora mengikik, masih menjepit hingga tangan suaminya terangkat, berusaha menepis.

"Dasar tukang ngorok." Flora melepas jepitannya bersamaan dengan gerak tubuh Dicko yang beringsut menyamping.

"Tapi kamu cinta, kan...?" gumam Dicko dengan mata terpejam. 

Flora mendengus saat menyadari lelaki itu mengucapkannya dalam kondisi setengah mengigau. Perempuan itu beranjak duduk. Tatapannya masih melekat pada wajah sang suami yang kembali jatuh tertidur. Begitu tenang, dengan embusan napas pelan dan teratur.

"I do love you...," bisiknya seraya mengusap lembut pipi dan bibir Dicko.

Sorot matanya perlahan berubah sendu. Ada kegundahan menyeruak. Keresahan berbalut rasa bersalah menyerang. Flora berpaling lalu bergegas turun dari tempat tidur.

Dua minggu telah berlalu sejak mereka bercinta di masa subur yang dihitungnya sendiri. Jadi sudah waktunya memastikan.

Hari masih malam. Pagi berjarak lima jam lagi, tapi tak mengapa. Perempuan itu membuka pintu kamar mandi dan melakukan rutinitasnya yang biasa selama berbulan-bulan. Menanti-nanti dengan dada berdebar yang kian waktu debarannya tak lagi seantusias dulu. Namun, dia tak pernah berhenti mencoba peruntungan.

Tamu bulanannya terlambat lagi. Siapa tahu itu terjadi hari ini. 

Flora menunggu dengan harapan sepenuh hati. Tangan terkatup di dada, memejam, menunggu keajaiban. Namun, desah kecewa lolos dari bibirnya saat membuka mata dan menemukan satu garis merah masih bertahan sendirian. Dia butuh dua. Dua garis merah penentu kebahagiaan. Sumber kebahagiaan Dicko, yang juga kebahagiaannya. Setidaknya itulah yang Flora pikirkan sejak berbulan-bulan penuh penantian.

Turn Up (Sekuel Flora-Dicko) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang