Bab 1

23.5K 509 21
                                    

"Gimana hubunganmu dengan Tina?" Aku  menatap tajam manik hitam kecokelatan itu, berharap bisa menemukan kejujuran.

"Sejak bersumpah padamu, aku nggak pernah lagi berhubungan lebih dari sekedar rekan kerja, Don. Kenapa kamu masih nanyain itu?" ucapnya sungguh-sungguh meyakinkanku.

"Aku nggak percaya." Aku membuang muka menatap jalanan dari balik kaca menahan kesal di hati.

"Waktu perayaan di kantor sekitar bulan Agustus lalu, ada yang mengadu padaku kalau kalian curi-curi waktu untuk bersama-sama." Kembali kutatap wajah itu melihat reaksinya.

"Padahal kamu datang dengan Karina dan Tina juga bersama suaminya. Nggak habis pikir aku sama kalian!" lanjutku kesal dengan nada sedikit meninggi.

"Apa perlu aku bersumpah lagi?"

Tatapan serius dia tujukan padaku. Namun aku masih bergeming.

"Gimana caranya biar kamu bisa percaya padaku, Don?" keluhnya putus asa.

Aku menyesap cappucino yang mulai dingin, meskipun udara begitu sejuk namun hatiku sesak dan panas kalau mengingat hubungan mereka. Dulu, sering aku menemukan chat mesra mereka tapi Damar masih saja mengelak.

"Nggak ngaruh sumpahmu di otakku Dam, aku cuma butuh kejujuran!" jawabku sengit.

"Dona, aku sudah jujur padamu. Aku nggak pernah ada hubungan apa-apa dengan Tina." Wajah frustasi tergambar jelas karena aku masih saja tak percaya.

"Damar, anak TK pun nggak akan percaya kalau lihat chat cinta-cintaan kalian! Dan kamu bilang nggak ada hubungan lebih?" Kesal sekali rasanya aku pada orang ini.

"Coba jelaskan! Apa maksudnya chat cinta-cintaan itu kalau kalian nggak ada hubungan apa-apa?" lanjutku menuntut dengan tatapan menantangnya.

"Ya cuma sekedar chating aja, Don. Nggak lebih!"

"Seluruh dunia juga tahu kalau aku cuma mencintaimu, Don, cuma kamu," lanjutnya mantap.

"Meskipun beberapa tahun terakhir ini kamu di luar kota ikut suamimu, banyak orang yang menanyakan hubungan kita, Don." Tatapannya sendu, mengisyaratkan kepedihan yang tertahan.

"Tapi aku berterima kasih sekali sama kamu, Don. Terima kasih sudah membuatku merasakan kebahagiaan. Merasakan bahagianya dicintai. Meski pada akhirnya kamu meninggalkanku," lanjutnya pedih.

"Bukan aku yang meninggalkanmu, tapi kamu yang nggak mau menikahiku kan waktu itu?" ucapku sadis mengeluarkan sakit yang selama ini tersimpan rapi di hatiku.

"Aku takut menjanjikan sesuatu padamu, Don, tapi kamu harus tahu, aku tetap berniat untuk menikahimu." Matanya menatapku penuh keyakinan.

"Enggak! Kamu bahkan jelas bilang kalau kamu nggak mungkin menikahiku." Rasa nyeri itu merayap pelan namun pasti di ulu hatiku.

"Kamu bilang ikut hati akan mati dan ikut rasa akan binasa. Kamu tahu kayak apa sakitnya aku saat itu?" Aku menatapnya sinis berusaha menyembunyikan luka yang kembali menganga.

"Tapi saat itu aku cuma bisa diam bersikap biasa padamu. Menyimpan rapat segala lara yang mendera hatiku."

Air mataku menetes tak kuasa menyembunyikan luka. Tatapanku menerawang hampa. mengenang saat kami berdua pulang bersama dan dia mengatakan itu. Masih membekas sakitnya meskipun itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu.

"Dan sekarang aku yang mati, Don," lirihnya sambil mengusap air mataku.

Beberapa saat suasana begitu hening. Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing.

"Kamu percaya, Don? Aku pernah pergi sendirian ke tepi jurang di kebun teh yang dulu sering kita datangi." Suara Damar memecah keheningan.

"Kamu tahu? Seperti apa perasaanku saat kamu tiba-tiba pergi menghilang dariku? Hatiku sakit, Don. Perih." Duka jelas sekali terpantul dari wajahnya yang sendu.

SUAMIMU CANDU UNTUKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang