Kemelut Perpecahan Seksual (Sexual Rupture) Besar Pertama

105 3 0
                                    

Dalam pembuluh revolusi/kontra-revolusi skema materialisme historis, saya menyarankan agar kita menyebut kemelut perpecahan seksual (sexual rupture) sebagai istilah terhadap titik balik yang luar biasa dalam sejarah hubungan antara perpecahan seksual antara jenis kelamin. Sejarah telah mencatat dua kemelut perpecahan ini dan, saya memprediksi, akan terjadi kemelut yang lain di masa depan.

Saat dimana era sosial yang mendahului peradaban sipil, kekuatan terorganisir dari "laki-laki kuat" ada untuk tujuan tunggal yaitu menjebak hewan dan membangun pertahanan melawan bahaya dari luar. Kekuatan terorganisir inilah yang mendambakan unit keluarga-klan yang telah dibangun oleh perempuan sebagai produk dari kerja emosional perempuan. Perampasan klan-keluarga (oleh laki-laki kuat terorganisir) merupakan organisasi kekerasan pertama yang serius. Apa yang dirampas dalam proses itu, adalah perempuan itu sendiri, anak-anak dan kerabatnya, dan semua akumulasi material budaya dan moral mereka. Hal tersebut adalah perampasan ekonomi awal, yaitu ekonomi rumah (home economy). Kekuatan terorganisir yang terdiri dari proto-pendeta (dukun), para tetua yang berpengalaman dan laki-laki yang kuat yang saling bersekutu untuk menyusun kekuatan hierarkis patriarkal awal, terlama dan panjang umur, yaitu pemerintahan suci (holy society). Hal ini bisa dilihat di semua masyarakat yang berada pada tahap yang sama: sampai pada tahap kelas, kota dan negara, hirarki ini dominan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Dalam masyarakat Sumeria[1], meskipun keseimbangan berangsur-angsur berbalik melawan perempuan, kedua gender yang berlawanan masih kurang lebih egaliter (setara) sampai milenium kedua SM. Banyak kuil untuk para dewi dan teks-teks mitologis dari periode ini menunjukkan bahwa antara 4000 dan 2000 SM pengaruh budaya ibu-perempuan pada Sumeria, yang telah membentuk pusat peradaban, setara dengan laki-laki. Sampai pada periode ini, tidak ada budaya menghina (culture of shame) yang berkembang terhadap perempuan.

Jadi, kita lihat ini merupakan awal dari budaya baru yang mengembangkan keunggulannya atas kultus ibu-perempuan. Pengembangan otoritas dan hierarki ini sebelum dimulainya masyarakat kelas merupakan salah satu titik balik terpenting dalam sejarah. Budaya ini secara kualitatif berbeda dari budaya perempuan-ibu. Mengumpulkan makanan dan kemudian berkultivasi, yang merupakan unsur-unsur pra-dominan budaya perempuan-ibu, adalah kegiatan damai yang tidak memerlukan peperangan. Perburuan, yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki, bertumpu pada budaya perang dan otoritas yang keras.

Dapat dimengerti bahwa laki-laki kuat, yang peran esensialnya berburu, menginginkan akumulasi dari tatanan matriarkal. Menetapkan dominasinya terhadap perempuan akan menghasilkan banyak keuntungan. Organisasi kekuasaan yang ia peroleh melalui perburuan, sekarang memberinya kesempatan untuk memerintah dan membangun hirarki sosial pertama. Perkembangan ini merupakan penggunaan pertama kecerdasan analitis dengan niat jahat; setelah itu, niat jahat ini menjadi sistemik. Lebih jauh lagi, transisi dari kultus ibu suci ke kultus ayah suci memungkinkan kecerdasan analitik untuk menutupi dirinya di balik kesucian.

Dengan demikian, asal-usul masalah sosial kita yang serius dapat ditemukan dalam masyarakat patriarki yang menjadi seperti kultus, yang berdasarkan agama, dikuasai oleh laki-laki kuat. Dengan perbudakan terhadap perempuan, tanah disiapkan untuk perbudakan bukan hanya anak-anak tetapi juga perbudakan terhadap laki-laki. Ketika laki-laki memperoleh pengalaman dalam mengumpulkan nilai-nilai melalui penggunaan kerja perbudakan (terutama dalam mengumpulkan produk surplus), kontrol dan dominasi budak-budak ini tumbuh. Kekuasaan dan otoritas menjadi semakin penting. Kolaborasi antara laki-laki kuat, tetua yang berpengalaman dan dukun untuk membentuk kelas yang istimewa, menghasilkan pusat kekuasaan yang sulit untuk dilawan. Dalam pusat kekuasaan ini, kecerdasan analitis mengembangkan narasi mitologis yang luar biasa untuk menguasai pikiran masyarakat. Dalam dunia mitologis yang dikomposisikan terhadap masyarakat Sumeria (dan diwariskan selama berabad-abad dengan beberapa adaptasi), laki-laki ditinggikan sampai pada titik di mana ia dituhankan sebagai pencipta langit dan bumi. Sementara keilahian dan kesakralan perempuan pertama-tama direndahkan dan kemudian dihapus, gagasan tentang laki-laki sebagai pemerintah dan penguasa mutlak tertanam dalam masyarakat. Jadi, melalui jaringan narasi mitologis yang sangat besar, setiap aspek budaya menjadi terselubung dalam hubungan antara penguasa dan objek yang dikuasai, pencipta dan yang diciptakan. Masyarakat terperdaya sehingga menginternalisasikan dunia mitologi ini dan secara bertahap menjadi versi mitologi yang lebih disukai. Kemudian mitologi ini berubah menjadi agama, agama di mana konsep pembedaan dan pembagian yang ketat antara manusia dibangun. Contohnya, pembagian divisi dalam masyarakat tercermin dalam kisah pengusiran Adam dan Hawa dari surga dan kutukan perbudakan. Legenda ini memberkati para dewa-penguasa Sumeria dengan kekuasaan kreatif; subyek mereka diciptakan kembali sebagai pelayan.

Liberating Life: Woman Revolution (edisi Bahasa Indonesia) oleh Abdullah OcalanWhere stories live. Discover now