Semua Perbudakan Didasarkan Pada Housewifization[1]

45 2 1
                                    

Sejak lompatan perkembangan hierarkis yang besar, seksisme telah menjadi ideologi dasar kekuasaan. Seksisme terkait erat dengan pembagian kelas dan pendirian kekuasaan. Otoritas perempuan tidak didasarkan pada produk surplus; Sebaliknya, otoritas itu berasal dari kesuburan dan produktivitas, dan penguatan eksistensi sosial. Di satu sisi sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, otoritas matriarkal juga terikat erat dengan kehidupan komunal. Fakta bahwa perempuan tidak memiliki tempat dalam perang kekuasaan berdasarkan produk surplus adalah karena posisi mereka dalam eksistensi sosial.

Kita perlu menunjukkan karakteristik yang telah diinstitusikan dalam peradaban masyarakat, yaitu masyarakat yang rentan terhadap hubungannya dengan kekuasaan. Sama seperti housewifization diperlukan untuk merekonstruksi kembali perempuan, masyarakat perlu dipersiapkan untuk mengamankan kekuasaan demi eksistensi kekuasaan itu sendiri. Housewifization adalah bentuk tertua dari perbudakan. Laki-laki kuat dan sekutunya mengalahkan perempuan-ibu dan semua aspek kultusnya melalui pertarungan panjang dan komprehensif. Housewifization kemudian diinstitusikan ketika masyarakat seksis menjadi dominan. Diskriminasi gender bukanlah gagasan yang terbatas pada hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Diskriminasi ini mendefinisikan hubungan kekuasaan yang telah menyebar ke semua tingkatan sosial. Ini merupakan indikasi kekuatan negara yang telah mencapai kapasitas maksimumnya dengan modernitas.

Diskriminasi gender memiliki dua dampak destruktif terhadap masyarakat. Pertama, telah membuka jalan perbudakan terhadap masyarakat; kedua, semua bentuk perbudakan lainnya telah dilaksanakan atas dasar housewifization. Housewifization tidak hanya bertujuan menciptakan kembali seorang individu sebagai objek seks; maka hal tersebut bukanlah hasil dari karakteristik biologis. Housewifization adalah proses sosial yang intrinsik dan menargetkan seluruh masyarakat. Perbudakan, penaklukan, penindasan dengan penghinaan (insults), weeping, budaya berbohong, sifat tidak sopan, dan memamerkan diri adalah semua aspek yang diakui sebagai hasil dari housewifization dan harus ditolak oleh moral kebebasan. Housewifization adalah pondasi dari degradasi masyarakat dan pondasi perbudakan sejati. Housewifization adalah landasan institusional di mana jenis perbudakan dan imoralitas yang paling tua yang selanjutnya diterapkan. Masyarakat sipil mencerminkan landasan ini di semua kategori sosial. Jika sistem ini berfungsi, masyarakat secara keseluruhan harus menerapkan housewifization. Kekuasaan identik dengan maskulinitas. Dengan demikian, penundukan masyarakat dengan housewifization tidak dapat dihindari, karena kekuasaan tidak mengakui prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan. Jika ada pengakuan terhadap kebebasan dan kesetaraan, maka kekuasaan tidak bisa eksis. Kekuasaan dan seksisme dalam masyarakat memiliki esensi yang sama.

Hal penting lainnya yang harus kita sebutkan adalah ketergantungan dan penindasan kaum muda yang dibentuk oleh para tetua laki-laki yang berpengalaman dalam masyarakat hierarkis. Sementara pengalaman memperkuat tetua laki-laki, usia membuatnya lemah dan tak berdaya. Ini memaksa para tetua untuk meminta kaum muda, yang dilakukan dengan memenangkan pikiran mereka. Patriarki diperkuat dengan cara-cara ini. Kekuatan fisik pemuda memungkinkan mereka untuk melakukan apa pun yang mereka sukai. Ketergantungan para tetua terhadap kaum muda ini terus menerus diabadikan dan diintensifkan. Keunggulan dari pengalaman dan ideologi adalah tidak mudah rusak. Kaum muda (dan bahkan anak-anak) ditundukkan dengan strategi dan taktik yang sama, propaganda ideologis dan politik, dan dengan sistem yang menindas sebagaimana penindasan terhadap perempuan - pada masa belum dewasa, seperti feminitas, bukanlah fakta fisik tetapi fakta sosial.

Harus dipahami dengan baik: Bukanlah suatu kebetulan bahwa otoritas kekuasaan pertama yang didirikan adalah otoritas atas perempuan. Perempuan mewakili kekuatan masyarakat organik, alami dan egaliter yang belum mengalami hubungan yang opresif dan eksploitatif. Patriarki tidak mungkin menang jika perempuan tidak dikalahkan; Selain itu, transisi ke institusi negara juga tidak mungkin dilakukan. Menghancurkan kekuasaan perempuan-ibu dengan demikian memiliki arti strategis. Tidak heran bahwa pertarungan tersebut adalah proses yang sulit.

Tanpa menganalisa proses di mana perempuan secara sosial ditundukkan, seseorang tidak dapat memahami dengan benar karakteristik dasar dari budaya sosial dominasi laki-laki. Bahkan memahami pembentukan maskulinitas secara sosial tidak mungkin dilakukan. Tanpa memahami bagaimana maskulinitas terbentuk secara sosial, seseorang tidak dapat menganalisis institusi negara dan oleh karena itu tidak akan dapat secara akurat mendefinisikan perang dan budaya kekuasaan yang terkait dengan persoalan negara (statehood). Saya menekankan masalah ini karena kita perlu untuk benar-benar mengekspos kepribadian seperti Tuhan yang mengerikan, yang muncul sebagai akibat dari semua pembagian kelas selanjutnya, dan semua jenis eksploitasi yang berbeda dan pembunuhan yang telah kepribadian Tuhan ini lakukan. Penundukan sosial perempuan adalah kontra-revolusi paling kejam yang pernah dilakukan.

Kekuasaan telah mencapai kekuatan penuhnya dalam bentuk negara-bangsa. Kekuasaan mendapatkan kekuatannya terutama dari seksisme yang menyebar dan mengintensifkan seksisme dengan mengintegrasikan perempuan ke dalam angkatan kerja serta melalui nasionalisme dan militerisme. Seksisme, sama seperti nasionalisme, adalah ideologi yang membentuk kekuasaan dan negara-bangsa. Seksisme bukanlah perbedaan biologis. Bagi laki-laki yang dominan, perempuan adalah objek yang akan digunakan untuk merealisasikan ambisinya. Dalam hal yang sama, ketika housewifization telah dilakukan, laki-laki dominan kemudian memulai proses mengubah laki-laki menjadi budak; setelah itu dua bentuk perbudakan ini menjadi terjalin.

Singkatnya, kampanye-kampanye untuk mendomestikasikanperempuan dan untuk membentuk penghormatan bagi struktur otoritas laki-lakipenakluk dan militer (prajurit) saling terjalin erat. Negara sebagai institusidiciptakan oleh laki-laki sedangkan perang: perampasan dan penjarahan hampirmerupakan satu-satunya cara produksi. Pengaruh sosial perempuan yang didasarkanpada produksi digantikan oleh pengaruh masyarakat yang didasarkan pada perangdan penjarahan. Ada hubungan erat antara pengekangan perempuan dan budayamasyarakat militer. Perang tidak menghasilkan apapun (produksi), ia merebut danmerampas. Meskipun kekuasaan dapat menentukan untuk kemajuan sosial di bawahkondisi-kondisi unik tertentu (misalnya, melalui perlawanan terhadappendudukan, invasi dan kolonialisme, maka jalan menuju kebebasan dilancarkan),tetapi lebih sering hal tersebut destruktif dan negatif.
Budaya kekerasan yang telah terinternalisasi dalam masyarakat diberi jalan yanglapang oleh perang. Pedang yang digunakan dalam peperangan negara dan jugakekuasaan laki-laki di dalam keluarga, adalah simbol hegemoni. Seluruhmasyarakat kelas, dari lapisan atasnya ke lapisan bawahnya, dijepit di antarapedang dan kekuasaan laki-laki di dalam keluarga.
Ini adalah sesuatu yang selalu saya coba pahami: Bagaimana mungkin kekuasaanyang dimiliki perempuan jatuh ke tangan laki-laki yang benar-benar tidakproduktif dan tidak kreatif. Jawabannya tentu saja terletak pada peranpemaksaan yang dimainkan.
Ketika persoalan ekonomi juga diambil dari perempuan, pengekangan yangmengerikan tidak terhindarkan.

1. Housewifization adalah sebuah proses domestikasi terhadap perempuan dengan menjadikannya sebagai pengurus rumah tangga (housewife) (penerjemah).

Liberating Life: Woman Revolution (edisi Bahasa Indonesia) oleh Abdullah OcalanWhere stories live. Discover now