Ketika Otoritas Patriarkal Mengakar Kuat

66 1 0
                                    

Struktur hirarkis dan otoriter sangat penting bagi masyarakat patriarkal. Pemerintah otoriter yang bersekutu dengan otoritas sakral para dukun menghasilkan konsep hierarki.

Otoritas yang diinstitusikan berangsur-angsur menonjol di masyarakat dan ketika jurang perbedaan kelas diintensifkan, institusi ini berubah menjadi otoritas negara. Sebelum sampai pada era ini (otoritas negara), otoritas hierarkis bersifat personal, belum diinstitusikan, dan dengan demikian tidak memiliki banyak dominasi atas masyarakat seperti negara yang telah diinstitusikan. Kepatuhan terhadap otoritas hierarkis ini sebagian bersifat sukarela, sebuah komitmen yang ditentukan oleh kepentingan masyarakat.

Namun, proses yang sedang digerakkan tersebut adalah suatu hal yang kondusif bagi kelahiran negara hierarkis. Sistem komunal primitif menolak proses ini untuk waktu yang lama. Sikap hormat dan komitmen terhadap otoritas aliansi ditunjukkan hanya jika mereka berbagi akumulasi produk mereka dengan anggota masyarakat. Bahkan, akumulasi produk surplus dianggap salah; orang yang paling dihormati adalah orang yang membagikan akumulasi dirinya. (Tradisi sikap dermawan telah dihormati pada era ini, yang masih berkembang dalam masyarakat klan hari ini, berakar pada tradisi sejarah yang kuat ini.) Sejak awal, komunitas ini melihat akumulasi produk surplus sebagai ancaman paling serius bagi dirinya dan mendasarkan moralitas dan agamanya untuk melawan ancaman ini. Tetapi, akhirnya, budaya akumulasi dan otoritas hierarkis laki-laki memang mengalahkan perempuan. Kita harus mengerti bahwa kemenangan ini bukanlah keharusan sejarah yang tidak dapat dihindari. Tidak ada undang-undang yang menyatakan bahwa masyarakat secara alami harus berkembang menjadi hierarkis dan kemudian menjadi masyarakat statis. Mungkin ada kecenderungan terhadap perkembangan seperti itu, tetapi menyamakan kecenderungan seperti itu dengan proses yang tak terhindarkan dan tak bisa berhenti serta harus berjalan penuh, akan menjadi asumsi yang keliru total. Melihat eksistensi kelas sebagai takdir dan nasib telah digunakan menjadi alat yang tidak disengaja bagi para ideolog kelas.

Setelah kekalahan ini, air mata kesedihan muncul di masyarakat komunal perempuan. Proses transformasi ke masyarakat hierarkis bukanlah hal yang mudah. Ini adalah fase transisi antara masyarakat komunal dan negara primitif. Pada akhirnya masyarakat hierarkis harus hancur atau menghasilkan negara. Meskipun memainkan peran positif dalam perkembangan masyarakat, bentuk sosialisasinya, aliansi antara kekuatan laki-laki, memberikan kekuatan kepada patriarki hierarkis untuk berkembang menjadi negara. Hal ini benar-benar masyarakat hierarkis dan patriarki yang menundukkan perempuan, pemuda, dan anggota etnis lain; proses ini dilakukan sebelum perkembangan negara. Hal yang paling penting adalah bagaimana penaklukan ini tercapai. Kewenangan untuk melakukan ini tidak dicapai melalui hukum, tetapi melalui moral baru yang didasarkan pada kebutuhan duniawi bukan kesucian.

Sementara ada perkembangan ke arah konsep religius dari Tuhan abstrak dan esa yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat patriarkal, otoritas matriarkal masyarakat alam dengan para dewi-nya menolak. Dalam tatanan matriarkal, aturan yang penting adalah untuk bekerja, menghasilkan dan menyediakan untuk menjaga agar orang-orang tetap hidup. Sementara moralitas patriarki melegitimasi akumulasi dan membuka jalan bagi kepemilikan, moralitas masyarakat komunal mengutuk akumulasi surplus sebagai sumber dari semua perbuatan salah, dan mendorong distribusi terhadap surplus. Kerukunan internal di masyarakat berangsur-angsur memburuk dan ketegangan meningkat.

Solusi untuk konflik ini adalah mengembalikan nilai-nilai matriarkal lama atau meningkatkan kekuatan patriarki di dalam dan di luar komunitas. Bagi faksi patriarkal hanya ada satu pilihan. Yaitu, membentuk dasar-dasar masyarakat yang ganas, masyarakat perang yang didasarkan pada penindasan dan eksploitasi. Melalui proses konflik di dalam fase pembentukan negara ini, fase otoritas yang diinstitusikan berdasarkan kekuatan permanen telah muncul.

Tanpa analisis status perempuan dalam sistem hierarkis dan kondisi di mana ia diperbudak tak dapat dipahami, baik di sistem negara maupun di sistem kelas setelahnya. Perempuan tidak ditargetkan oleh aliansi laki-laki sebagai gender perempuan, tetapi sebagai pendiri masyarakat matriarkal. Tanpa analisis mendalam tentang perbudakan perempuan dan penetapan syarat-syarat untuk mengatasinya, tidak ada perbudakan lain yang dapat dianalisis atau diatasi. Tanpa analisis ini, kesalahan mendasar tidak dapat dihindari.

Liberating Life: Woman Revolution (edisi Bahasa Indonesia) oleh Abdullah OcalanWhere stories live. Discover now