Kemelut Perpecahan Seksual (Sexual Rupture) Besar Kedua

37 2 0
                                    


Jutaan tahun setelah pembentukan patriarki (apa yang saya sebut "kemelut perpecahan seksual besar pertama"), perempuan sekali lagi menerima pukulan saat mereka masih berjuang untuk memulihkan diri. Saya mengacu pada intensifikasi patriarki melalui agama monoteistik. Mentalitas penolakan terhadap masyarakat alam (natural society) diperdalam dalam sistem sosial feodal. Pemikiran agama dan filsafat membentuk mentalitas baru masyarakat dominan. Dengan cara yang sama yang digunakan oleh masyarakat Sumeria yang telah mensintesiskan nilai-nilai masyarakat Neolitik ke dalam sistem baru mereka sendiri, masyarakat feodal mensintesis nilai-nilai moral kelas tertindas dari sistem lama dan perlawanan kelompok etnis dari daerah-daerah terpencil, ke dalam struktur internalnya sendiri. Perkembangan politeisme menjadi monoteisme memainkan peranan penting dalam proses ini.

Fitur-fitur pola pikir mitologis diperbarui dengan konsep-konsep religius dan filosofis. Kebangkitan kekuatan kekaisaran tercermin dalam Tuhan dengan jumlah banyak yang tak berdaya lalu berevolusi menjadi Tuhan universal yang mahakuasa. Budaya yang memfokuskan pada perempuan yang dikembangkan oleh agama monoteistik menghasilkan kemelut perpecahan seksual besar kedua. Kemelut yang terjadi saat periode mitologis adalah persyaratan budaya (cultural requirement), sedangkan kemelut yang terjadi pada periode monoteistik adalah "hukum sebagai perintah tuhan". Memperlakukan perempuan sebagai inferior di era monoteistik ini menjadi perintah suci tuhan. Keunggulan laki-laki dalam agama baru diilustrasikan oleh hubungan antara nabi Abraham dan perempuan Sarah dan Hagar (Hajar). Patriarki pada era ini terbentuk sempurna. Institusi pergundikan (concubinage) dibentuk; poligami disetujui. Sebagaimana ditunjukkan oleh hubungan sengit antara Nabi Musa dan saudara perempuannya, Mariam, menjadikan peran perempuan dalam warisan budaya dihapuskan. Masyarakat Nabi Musa adalah masyarakat laki-laki total di mana perempuan tidak diberi tugas apa pun. Inilah yang dimaksud dengan pertarungan sengit dengan Mariam di atas.[2]

Pada periode kerajaan Ibrani (Hebrew-Yahudi) yang bangkit tepat sebelum akhir milenium pertama SM, kita melihat transisi budaya housewifization yang berkembang, di periode yang sama dengan David (Daud) dan Salomo (Sulaiman). Perempuan sama sekali tidak memainkan peran publik di bawah dominasi ganda budaya patriarki dan budaya negara agama. Perempuan terbaik adalah yang paling sesuai dengan laki-laki atau patriarki. Agama menjadi alat untuk memfitnah perempuan. Terutama, dia - Hawa (Eve) - adalah perempuan berdosa pertama yang telah merayu Adam yang mengakibatkan pengusiran dari surga[3]. Lilith tidak menundukkan dirinya pada Tuhannya Adam (sosok patriarkal) dan berteman dengan pimpinan roh jahat (sosok manusia yang menolak menjadi pelayan dan tidak mematuhi Adam)[4]. Memang, klaim Sumeria bahwa perempuan telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki telah dimasukkan dalam Alkitab. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ini adalah pembalikan lengkap dari narasi asli - dari perempuan sebagai pencipta lalu berubah menjadi sesuatu yang diciptakan. Perempuan hampir tidak disebutkan sebagai nabi dalam tradisi agama. Seksualitas perempuan dipandang sebagai kejahatan yang paling celaka dan terus difitnah dan dirusak. Perempuan, yang masih memiliki tempat terhormat di masyarakat Sumeria dan Mesir, sekarang dipandang menjadi sosok aib, dosa dan perayu.

Dengan datangnya periode nabi Yesus, muncullah sosok Bunda Maria. Meskipun dia adalah ibu dari putra Tuhan, tidak ada jejak yang tersisa dari sosok dewi darinya. Seorang ibu yang sangat pendiam dan cengeng (tanpa gelar dewi!) telah menggantikan sosok dewi ibu. Kejatuhan perempuan terus berlanjut. Sangat ironis bahwa seorang perempuan semata-mata dibuahi oleh Tuhan[5]. Sesungguhnya, Trinitas Bapa, Anak, dan Roh Kudus melambangkan sintesis agama-agama politeistis dan agama monoteistik.

Sementara Maria juga seharusnya dianggap sebagai dewa, namun dia dipandang hanya sebagai alat Roh Kudus. Ini menunjukkan bahwa keilahian telah menjadi milik laki-laki secara eksklusif. Dalam periode Sumeria dan Mesir, dewa dan dewi hampir setara. Bahkan selama era Babilonia, suara dewi-ibu masih terdengar jelas dan keras.

Liberating Life: Woman Revolution (edisi Bahasa Indonesia) oleh Abdullah OcalanWhere stories live. Discover now