HARAP TANPA JEDA

65 3 0
                                    



Kau dulunya hanyalah sebatas orang asing yang lalu lalang didepan mataku, bertemu lagi dan lagi saling berbalas senyuman hingga pada suatu ketika kita bertemu pada satu keadaan dimana aku harus berbincang denganmu, hati ini memberontak, otak tak lagi berpikir dengan sehat, entah apa tujuan awal ketika melangkahkan kaki keluar rumah? Yang terpikirkan kini, bagaimana meyakinkan diri untuk berkenalan denganmu yang begitu ramah dengan senyuman yang tak henti-hentinya menusukku. Setelah hari itu, kita tak lagi canggung untuk hanya sekedar menyapa meski bagiku sepata kata dari mulutmu adalah cahaya bagi asa yang tumbuh dalam diriku.

Perbincangan yang telah lalu, tak pernah aku izinkan hanya menjadi sebuah kenangan yang tumbuh pada dadaku, menjadi lebat dan perlahan meredupkan rasa cinta ini. Foto selfie yang tersimpan dalam gallery ponsel membuatku sekali lagi ingin mengulangi pertemuan kita di mana aku bisa menatap wajahmu sepuasnya dan menikmati senyummu tanpa ada batas lelah.

Semua terus berjalan dengan baik-baik saja, hanya saja rasaku masih betah bersembunyi di balik keresahan-keresahan atas sikap merelakan yang mungkin saja akan aku lakukan, tiap hari dada ini semakin menggebu ingin memiliki dikau pujaan hati. Tak pernah berhenti tentangmu terbayang-bayang dalam benakku, ia seakan tersesat pada hutan belantara tanpa cahaya sang-rembulan menerangi setiap langkah menuju jalan yang lebih terang dengan wanita yang setiap waktu datang tanpa undangan.

Mungkin suatu hari nanti, semua keresahan tentang kekecewaan itu akan hilang oleh kenyataan yang sangat membahagiakan, kau dan aku akan menjadi kita, menjalin hubungan dengan penuh komitmen sama seperti bumi mencintai rembulan, walau harus terpisah berulang kali semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Semua mungkin saja terjadi dan itu ialah juga doa di setiap sujudku. Tapi, semuanya itu hanyalah jika, bagaimana kalau tidak? Di saat aku masih sangat mencintaimu dan masih belum berani mengungkapkan perasaanku, lalu kau memilih menjadi orang asing dalam hidupku, kau lebih memilih orang lain untuk kau cintai. Apakah semua akan baik-baik saja di matamu? Ya, semua akan baik-baik saja, kecuali hatiku, yang tidak akan pernah kau lihat betapa hancurnya, betapa berantakanya hati yang tidak dapat memaksa yang dia cintai untuk juga mencintainya. Sangat perih seakan belati tak henti-hentinya menyayat hati, terus mencabik, mencincang setiap kali ingatan kembali memunculkan namamu.

Semoga semua itu tidak terjadi, sekarang kau dan aku tetaplah seperti ini, tetap baik-baik saja, saling mendukung dan saling mengerti kesibukan yang kita jalani masing-masing. Aku akan menunggu hingga tiba waktunya pas untuk mengungkapkan semua gejolak yang telah bermuara dalam dadaku, cinta yang sudah terlalu besar hingga menghadirkan rasa cemburu berlebihan untuk hubungan persahabatan, semua itu akan ku curahkan tepat dihadapanmu.

Aku kira, semua yang aku rasakan dan mungkin semua yang diam-diam mencintai sahabatnya adalah hal yang normal. Friendzone, yah hanya saja kita terjebak di sana, dalam hubungan yang menurutku ambigu. Di mana kita terlihat begitu saling sayang, saling perhatian, saling takut kehilangan. Tapi, di sisi lain kita hanyalah sebatas yang kau sebut sahabat tidak lebih dari itu. Friendzone seharusnya lebih tepat disebut jarak, yah jarak antara rasa yang saling tumbuh namun tak dapat untuk  menyatu.

Lalu, apa yang membuat kita terus bertahan? perasaan? kau tak pernah bisa membohongi perasaanmu, di saat kau mulai berusaha melupakannya maka seluruhnya akan semakin lekat pada tiap-tiap detak jarum jam dalam kehidupanmu, dia akan semakin pekat pada kepalamu, bahkan dia menjelma lendir yang tak akan pernah meninggalkanmu seorang diri. hahhhhh! sungguh perasaan serumit itu.  Tapi, aku meyakini bahwa setiap perjuangan akan menemui batasannya; entah itu memiliki atau lebur bersama lara hati

Seakan tiada jeda, berkali-kali datang dan semakin menjadi-jadi dalam diri. Semakin perih pula hati tersayat oleh harapan-harapan yang entah kapan menemui jawaban. Mengalah; mundur dengan perlahan, meski sulit akan aku coba untuk sedikit demi sedikit melupakan tentang dirinya yang hanya hidup dalam ilusi kehidupan. Sebab, semakin harapan itu bertambah semakin dalam pula engkau terluka jika kenyetaanNya bukan kau yang dia inginkan menjadi imam dalam hidupnya dan mengaku kalah oleh diri kita sendiri akan lebih baik dari pada harus kalah oleh undangan pernikannya kelak.

Baca juga tulisan saya di Instagram dan Twitter \\

HARAP YANG SIA-SIAWhere stories live. Discover now