Kita Pasti Bisa!

3 0 0
                                    

"Minggu depan, saya gak mau ngeliat kamu telat lagi ya. Saya tau diluar hujan, tapi kamu bisa kan berangkat lebih awal. Ini kuis untuk menghitung seberapa kemampuan kamu. Saya gak peduli seberapa berpengaruhnya orang tua kamu disini. Tetap, saya harus tau kemampuan dasar kamu dalam kuliah.."

"Baik pak, saya minta maaf. Saya tidak akan mengulanginya lagi."

"Ya sudah, ada yang mau kamu pertanyakan lagi. Saya rasa sudah cukup nasehat dari saya."

"Tidak ada pak. Sekali lagi saya, mohon maaf."

Pak Anggoro sangat marah padaku, saat itu. Tampak sekali wajah kecewanya. Memang dia adalah salah satu orang berpengaruh di kampus. Ayahku, mempercayainya sebagai staf kampus yang bisa membimbingku untuk tetap berada dalam kelas untuk belajar. Namun, aku seringkali tidak memperhatikan apa yang ia inginkan. Bagiku, keinginanku yang lebih utama.

Aku bukan anak yang berada dalam pengawasan Ayah. Aku sudah dewasa.

Perlahan, anak tangga kuturuni lengkap. Langkahku kini mengarah ke arah kantin kampus. Mau gak mau gue harus cari kerja nih. Tapi dimana?

Pikiranku tidak karuan. Semakin ingin nekat saja. Toh, aku yang akan menentukan jalan hidupku sendiri. Ayah pasti akan bangga jika melihatku sukses dengan apa yang aku impikan.

Tiba-tiba aku tidak sengaja menabrak pohon yang tingginya hampir sama denganku. Mungkin karena aku berjalan sambil menunduk. Tidak peduli ada apa yang ada dihadapanku, main tendang dan main tabrak saja.

"Duh.. kok bisa pohon ini ada disini?" Gerutuku sambil mengusap kepalaku yang sedikit agak perih karena terkena batang pohonnya yang lumayan besar.

"Woy, Syl. Kalo jalan pake mata dong.. Yakali pohon segede gitu main tabrak aja.." Terdengar dari kejauhan suara teman laki-laki yang meledekku.

Ya mana aku tau kalau didepanku ada pohon kamboja kuning. Aku memang sering melihatnya. Bahkan, duduk ditumpukkan bunga-bunganya yang berwarna kuning. Kadang, kalau aku iseng dengan beberapa temanku, aku sering menyelipkan bunganya ke daun telingaku. Jadilah aku penari Bali yang matanya tajam, melirik-melirik.

"Iya, gue juga tau!" Teriakku kepada suara laki-laki yang duduk di bangku besi itu. Jaraknya cukup jauh, ada kali sekitar lima belas meter.

Sambil aku berjalan menuju kantin, aku melihat payungku masih berdiri tegak disamping meja dekat pos satpam. Langsung saja aku mendekati untuk mengambilnya. Kupikir, sudah kering.

"Waaahh.. si Pingky udah kering. Come to Mama, please!" Kataku yang sambil berlari kecil mengarah ke arah dimana payungku berdiri. Namun, aku terkejut karena tiba-tiba keluar seseorang dari dalam pos satpam sambil memegangi tas ransel berwarna hitam.

"Belum kering. Tadi udah aku cek.. Makanya aku biarkan terbuka."

"Masya Allah!!! Bisa gak jadi orang itu gak ngagetin? Hampir aku nabrak lagi dan kalo iya, bangku yang jadi korbannya."

Langkahku tiba-tiba terhenti dan terdengar sedikit ada suara kaki yang menyeret dari kakiku. Jelas saja, Raka datang tiba-tiba seperti hantu.

"Yaudah, biarin aja. Nanti aku lupa, malah ketinggalan." Sautku sambil mengambil payung merah muda, milikku. Lalu, aku melipatnya sisi persisi.

Dia hanya menganggut.

"Bajunya masih basah?" Tanyanya lugas.

"Udah kering kok hehehe.." Kataku sambil menyeringai cengengesan.

"Mudah-mudahan aja gak sakit." Jawabnya dengan singkat sambil memberikan senyum simpul. Sedikit, tapi pelit.

Belum aku menjawab, dia sudah bergerak meninggalkan pos satpam ke arah keluar kampus. Ia hanya menunduk dan berjalan lurus tanpa memandang kemana-mana. Ah, baru saja aku mau bilang, terima kasih atas jaketnya, Tampan!

***

"Lu udah selesai ngedit yang kemaren, Ka?"

"Belum. Gila banyak banget tugas gue. Nih ya, mulai dari cari stok gambar bareng Mas Gusti, belum lagi bikin narasi sama skripnya, abis itu ngedit. Sumpah, keteteran gue, Raz."

"Lu gak minta tambah orang sama Mas Eka? Gue yakin pasti dia mau nambah orang buat formasi lu."

"Gue gak yakin dia sependapat sama gue. Lu tau kan, kalo bisa di handle satu orang, kenapa musti dipegang banyak orang? Itu prinsipnya Mas Eka."

"Iya, tapi jadinya lu keteteran, kan? Belum lagi tugas kuliah yang numpuk!"

Aku hanya diam saja mendengarkan ucapan Farazh sambil menenggak es teh manis yang tinggal separuh gelas. Kulihat makan siangku sudah lenyap, kuhabiskan. Didepanku, Farazh sedang mencabik-cabik ayam goreng kesukaannya, lalu ia masukkan ke dalam mulutnya.

"Pekerjaan itu bisa selesai dengan mudah kalo ada kerja sama dengan tim, Ka. Kalo lu apa apa sendiri, apa apa sendiri, gimana mau cepet kelar?" Lanjutnya sambil menggigiti tulang paha ayam.

Kepalaku mulai berpikir dan mengiyakan pendapat Farazh. Sedangkan, Rayhan hanya fokus pada makanannya saja. Tahu dan tempe goreng adalah kesukaannya yang dicelupkan ke sambel terasi.

"Kalo menurut lu, Ray?" Tanyaku pada Rayhan.

"Bebaslah. Semua keputusan ada ditangan lu. Gue lagi makan nih, ganggu aja!"

Ya begitulah Rayhan. Jangan ajak ia bicara kalau sedang makan siang, makan malam atau sedang makan pokoknya.

"Intinya, lu kudu.. musti.. harus.. minta orang buat bantuin kerjaan lu, Ka. Titik!" Jelas Farazh yang sedikit mulai meyakinkan keputusanku.

Pendapat mereka benar. Besok aku akan bicara pada Mas Eka perihal tugasku dalam pekerjaan. Dulu, aku dan Farazh bekerja di tempat yang sama. Namun, karena kondisi rumahku yang jauh, aku pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah. Padahal, kami adalah tim yang kerjasamanya sangat baik.

Pandanganku teralihkan, mengarah ke arah luar dari tempat aku sedang makan sambil memegang gelas dan meletakkannya ke meja makan. Aku melihat Sylvia sedang memesan makanan. Pandanganku sudah tak lepas darinya.

Semoga saja ia makan di tempat!

R(Asa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang