Selamat Bekerja!

7 0 0
                                    

Pagi ini aku begitu bersemangat. Mungkin tadi pagi aku minum segelas jus alpukat.

Kabarnya, anak baru itu mulai aktif hari ini. Mas Eka, atasanku, dia akan memberi satu meja khusus agar aku dan si anak baru itu mampu bekerja sama dalam satu tim. Ya, tak apalah. Lumayan punya asisten alias rekan kerja yang bisa diandalkan, semoga.

Eka Arifianto Herwan, dia atasan kami. Apapun yang kami keluhkan, harus mas Eka dulu yang tau. Ya, selagi itu masih keluhan tentang pekerjaan, dia orang pertama yang harus tau.

Kulihat Mas Eka berjalan di lorong menuju meja kerjaku. Dia berjalan dengan seorang perempuan. Sepertinya, dia serius menjelaskan sesuatu. Kulihat perempuan itu hanya mengangguk saja, mengiyakan apa yang dijelaskan oleh Mas Eka. Apa dia rekan kerjaku? Masa bodohlah, yang penting pekerjaanku kelar.

"Udah liat anak baru yang direkomen sama mas Eka?"

Namanya Gusti Chakra Setiawan, kami di kantor biasa memanggil dengan mas Gusti. Dia salah satu kameramen yang juga satu tim denganku. Mejanya bersebelahan denganku.

"Belum. Kenapa emangnya?"

"Katanya cantik. Jago nulis juga!"

Apa? Cantik? Berarti anak skrip besok itu perempuan? Apa aku tidak salah dengar. Sebelumnya Mas Eka tidak pernah bercerita kalau anak baru bakalan perempuan.

"Cewek?" Tanyaku dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

"Iyalah. Bosen juga kalo ngeliatin laki-laki terus. Itung itung cuci mata coy!" Ledeknya.

Pikiranku mulai gelisah. Banyak tanda tanya yang muncul di kepalaku.

Bagaimana nanti kalau dia tidak bisa bekerja?

Bagaimana kalau dia cuma bisa ngerumpi?

Bagaimana kalo dia bisanya cuma ngegosip?

Ngelantur?

Tukang dandan?

Ribet?

Cerewet?

Arrrrrghhhh... dia sampe membuat kepalaku berputar seperti ini.

"Oke, ini rekan kerja kamu. Besok kamu udah bisa kerja bareng mereka. Nah, meja kamu disini. Ditengah-tengah aja gapapa kan?"

Tiba-tiba Mas Eka sudah berada di belakangku bersama perempuan yang aku tahu, siapa itu orangnya. Astaga!

Mataku tidak berkedip saat mas Eka mengarahkannya untuk duduk di sebelahku; sebagai meja kerjanya. Dia pun tersenyum dan meletakkan tasnya kearah meja yang ditawarkan tadi.

Hah?

Kenapa harus dia?

Kenapa dia satu kantor denganku?

Kenapa harus Sylvia?

Lamunanku terkejap karena mas Eka menepuk pundakku,

"Yang rajin kerjanya. Gue udah kasih rekan kerja terbaik buat bantu semua urusan kerja lu, kalo masih lu ngeluh juga, lu yang gue kreeeekk..." Sambil mengadegankan tangan ke lehernya, seakan-akan ingin menggorok leherku.

Selesai ia mengatakan hal itu, mas Eka lalu pergi, kembali ke meja kerjanya. Sedangkan aku, aku mengiyakan apa yang mas Eka katakan, tapi mataku, tak bisa lepas dari dia. Sampai ia duduk di kursinya pun mataku masih memperhatikannya, tidak sadar.

"Hai, kenalin nama saya Gusti. Campers disini. Hehehe.." Kata mas Gusti dari arah sebelah kiri mejanya, sambil memberikannya senyum terbaiknya. Tetapi, kali ini senyumnya nampak bagai pepatah, ada udang dibalik bakwan. Begitulah, kira-kira.

Sodoran tangan mas Gusti dijawab langsung oleh Sylvia. Ia memperkenalkan dirinya dengan sapaan hangat, pula. Namun, ia belum melihat aku yang berada disampingnya. Pasti dia sengaja, pura-pura tidak melihatku.

"Saya Sylvia. Senang berkenalan dengan mas Gusti." Katanya dengan ramah khasnya.

"Masa panggilnya mas sih? Kayanya kita sepantaran kok hehehe.."

Kali ini kameramen geladak ini sudah mulai berani ngemodus, nampaknya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung mempersilahkan ia bekerja dan mulai menulis tentang tugasnya.

"Gak usah lama-lama deh, langsung kerja aja. Sebelumnya udah paham kan sama tugasnya?"

"Paham kok, Raka." Jawabnya sambil menoleh kearahku dengan menyisipkan sedikit namaku. Senyumku sedikit agak tersungging.

"Hah? Kamu kenal sama Raka? Kok.. kok tau namanya?" Nampak mas Gusti keheranan.

Aku langsung duduk di kursiku. Tanpa menghiraukan sedikit pun kata-kata mas Gusti. Terlihat dari sudut mataku, Sylvia sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaannya.

"Raka teman kuliah saya, Mas."

Aku geli sendiri mendengarnya. Kututup ekspresi wajahku dengan sehelai kertas kosong. Ingin sekali aku tertawa lepas didepan wajah mas Gusti. Namun, ku berusaha tahan.

Wajah mas Gusti terheran. Dia terkejut dan menghampiriku,

"Dia temen kuliah lu?"

"Iya. Kenapa?" Jawabku sambil membuka laptopku diatas meja.

"Bagus deh kalo gitu. Jadi, gampanglah ya hehehe.."

Aku langsung menoleh ke arah mas Gusti. Seraya ingin bertanya, apa maksud dari perkataannya barusan,

"Maksud lu apaan nih, gue gak ngerti!"

Mas Gusti sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Ekspresinya terlihat sangat sumringah sekali, langkahnya juga sedikit agak lincah ketika berjalan menjauhi mejaku. Entah ada apa. Kulihat, Sylvia hanya bisa tersenyum melihat tingkah mas Gusti. Namun, sekali-kali ia melirikku, ada beberapa kali.

Tarikan nafasku mulai kuatur, beberapa. Seraya ingin membangunkan diri dari imajinasi memperkaya diri. Kuhembuskan sedikit, lalu ku pejamkan mataku, sambil berdoa dalam hati,

... Tuhan, semoga ini bukan mimpi!

R(Asa)Where stories live. Discover now