Tidak akan Terjadi Lagi.

4 0 0
                                    

Drrrtt.. Drrrtt... Drrrtt..

Deringan ponselku kali ini tidak membuatku terbangun. Detak jam mejaku menunjukkan angka 3:20.

Siapa yang menelponku tengah malam begini?

Kulihat rentetan nomor disana. Nomornya tidak kukenal. Nomornya masih asing bagiku. Tanpa pikir lagi, langsung ku telepon kembali nomor asing itu.

Tuuttt.. Tuutt.. Tuutt..
Halo.. mas Raka?

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya diangkat juga.

"Iya, halo. Maaf, ini siapa?" Kataku sambil aku heran menjawab suara disana yang menyebut namaku. Sepertinya itu suara Raffa, adikku.

"Ini Raffa, mas. Ibu mas, ibu sakit."

Seketika kalimat itu menusuk hatiku. Sakit sekali rasanya.

"Lalu, dimana ibu sekarang?"

"Ibu di rumah sakit, mas. Sakit asmanya kambuh."

Sudah kuduga.

Ibu memang memiliki riwayat asma. Kadang, bisa kambuh kapan saja. Pernah sekali waktu, ibu kambuh. Nafasnya tersengal hingga tak sadarkan diri. Sempat juga masuk ruang ICU. Namun, Tuhan masih sayang kepadaku dan Raffa.

"Besok pagi mas berangkat ke Bandung. Kamu jaga ibu baik-baik ya. Jangan lupa makan."

"Iya mas. Hati-hati dijalan."

***

"Jangan terlalu letih. Harus banyak istirahat. Ibumu mungkin terlalu lelah bekerja. Sehingga nafasnya tersengal sampai menutup saluran pernafasannya. Kalo ini jika terjadi lagi, bisa fatal ke depannya."

Dokter itu terlihat rinci menjelaskan diagnosa ibu. Ibu sedang tidur. Ada Raffa disampingnya. Aku tidak tau lagi harus berbuat apa. Setiap kali aku bilang kepada ibu untuk tidak bekerja, ia menangis teringat bapak.

Bapak sudah tiada.

"Terima kasih, Dok. Saya akan menjaga ibu sampe ia sembuh. Saya pastikan beliau tidak bekerja dalam waktu dekat ini."

"Jaga kesehatannya, ya!"

"Baik. Terima kasih, Dok."

Tanpa sepengetahuanku, ibu bekerja sampingan. Ia tidak betah dirumah. Ia pernah bilang, "Ibu gak mau nyusahin anak-anak Ibu. Ibu juga gak mau sendirian dirumah. Kadang Raffa sekolah. Ibu kesepian.."

Sejak bapak pergi, Ibu suka kesepian. Ibu dan Bapak memang dua sejoli. Tidak pernah terpisahkan. Namun, waktu itu bapak tiba-tiba sakit, dan akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Ibu sedih betul, saat itu. Seakan-akan ia kehilangan sekeping hatinya.

***

"Biayanya bisa dilakukan sekarang, ya. Langsung ke pihak administrasi saja."

"Terima kasih ya, Sus. Saya akan kesana sebentar lagi."

Suster itu lalu pergi setelah memeriksa tekanan darah Ibu. Katanya, Ibu sudah mulai membaik. Tapi, aku bingung sekarang. Bagaimana aku membayar biaya rumah sakit?

Aku bingung menatap setiap tagihan Ibu yang lumayan besar. Tabunganku tidak cukup dari setengahnya untuk melunasi setiap rincian angka didalamnya. Aku harus apa? Tapi yang terpenting sekarang adalah tetap kesehatan Ibu. Aku tidak peduli. 

Apa aku injam uang Farazh, ya?

Tanpa pikir panjang, langsung saja kukeluarkan ponselku dan menyambungkannya kepada nomor Farazh. Aku tidak tau harus bagaimana.

tuuuutt.. ttutttt.. tuuutt..

"Halo?"

"Halo, Farazh?"

"Iya siapa lagi, kalo bukan gue. Tumben jam segini lu nelpon gue. Ada apa, Ka? Lu dimana?"

Terdengar suara Farazh sedikit panik menanyai keadaanku. Aku memang tidak izin padanya untuk pergi ke Bandung. Aku tidak mengabarinya perihal ini. Aku langsung bergegas pergi ke Bandung karena mendengar Ibu sakit.

"Gue mau pinjem uang lu, boleh?"

"Pinjem uang gue? Buat apaan, Ka?"

"Biaya rumah sakit Ibu gue, Razh.."

Aku yakin, pasti dia akan menanyakan keadaan Ibuku. Bagaimanapun juga, dia tetap sahabatku.

"Nyokap lu sakit apa emangnya, Ka? Kok lu gak cerita sama gue? Lu sekarang di Bandung? Sama siapa?" Lugas Farazh yangs sepertinya sudah muai khawatir.

"Sendiri. Gue berangkat sendiri tadi pagi. Sekarang nyokap gue masuk rumah sakit. Sorry, ya gue gak ngabarin kalian kalo gue ke Bandung."

"Ya ampun, Ka. Lu kaya sama orang lain aja tau gak. Lu butuh berapa? Nanti gue transfer malam ini. Kabarin ke gue. Kalo kurang, nanti gue pinjem ke Rayhan sama Akmal. Parah lu, Ka!"

"Nanti gue whatsapp in ya nominalnya. Thanks banget, bro."

Berselang berapa menit, adikku keluar menyapaku karena ia lihat sedari siang aku belum makan. Kalau dalam situasi seperti ini, aku tidak nafsu makan.

"Mas, mas gak makan? Nasinya dingin itu gak dihabisin nanti basi.."

Kulihat wajah adikku dalam dalam. Kuusap kepalanya, dan kuraih badannya kedalam pelukanku. Aku memeluknya. 

"Kamu kok belum tidur?"

"Aku gak bisa tidur." Katanya sambil mendongak kearahku.

"Yaudah, kita ke ruangan Ibu yuk. Disini dingin, nanti malah kita sakit. Makan bareng Mas yuk, bantuin Mas habisin makanan."

"Kata Ibu kalo makan harus habis. Gak boleh bersisa. Kan nanti nasinya nangis, aku yang dimarahin."

"Oke bos. Nasinya akan habis dalam waktu lima menit. Yuk, kita ke kamar Ibu."

Aku menggandeng Raffa untuk pergi menuju ruangan. Di tempat itu, Ibu bersama dengan tiga orang pasien lainnya. Jika malam terasa hening dan sepi. Hanya ada satu tikar untuk kita tidur dilantai. Sehabis aku menyantap makananku, aku membiarkan Raffa tidur diatas tikar bertemankan bantal ala ala dari tas yang berisikan baju salinku. Ia tertidur bersama dengan Ibu diatas ranjang sehabis meminum obat malamnya. Kata suster yang barusan ke ruangan, Ibu bisa pulang dua hari ke depan. Kondisi Ibu belum stabil untuk pulang. Sedangkan aku, harus berada disini bersama Raffa menemani Ibu.

Drrrttt... Drrrttt.. Drrttt...

Kulihat ponselku berdering. Malam ini siapa yang masih terjaga memanggilku?

Sylvia?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

R(Asa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang