Dia yang Terbaik

2 0 0
                                    

"Mas, pokoknya gue minta orang buat jadi script di tim. Gue capek, Mas. Selalu dikejar deadline terus, tapi gue ngerjain apa-apa sendiri"

"Iya, sabar Raka. Besok gue cariin orang baru buat bantuin lu kerja. Lu mau yang kaya apa?"

"Gak usah banyak gaya, bisa nulis, udah itu doang!"

"Oke. Asalkan lu bisa produktif dan menghasilkan sesuatu yang baik. Jangan disalahgunakan!"

"Itu urusan gue kalo emang nanti dia udah masuk tim. Bisa gue gejor atau apalah kalo dia gak bisa kerja. Serahin ke gue!"

"Oke!"

Akhirnya, keinginanku bisa terwujud. Sudah lama aku ingin sekali mempunyai satu orang dalam tim untuk membantuku bekerja. Sedikit agak menyiksaku dengan memegang dua pekerjaan sekaligus. Belum lagi tugas-tugasku dikampus. Melelahkan!

"Minggu minggu ini tolong lu standby email. Gue bakal kirim kandidat buat lu. Eh, jangan deh! Gue aja yang milihin buat lu!"

Hah? Apa-apaan!

***

Hari ini sangat menyebalkan. Ayah selalu merongrongku untuk tetap bekerja di kantornya. Seorang sekretaris pribadinya, itu pekerjaan yang ia serahkan padaku. Sudah kubilang, aku tidak mau bekerja ditempat Ayah. Ayah mengapa keras kepala sekali?

Puluhan sudah aku mengirimkan CV ke semua surat elektronik ke berbagai perusahaan. Aku niatkan, setiap hari akan aku kirimkan satu folder ke perusahaan yang mengirimkan info lowongan pekerjaan via email. Sudah satu bulan lebih aku melamar, tapi belum juga membuahkan hasil.

"Lagi ngapain, Syl?" Tanya teman karibku yang sedari pagi menemaniku duduk di taman kampus. Dia sambil memegangi ponsel kesayangannya.

"Lagi ngecek email." Jawabku.

"Email, buat?"

"Gue berencana mau kerja sambilan. Gue ngerasa banyak waktu gue kosong percuma. Jadi gue pikir, kalo kerja part time selain pengalaman, gue juga bisa dapet duit kan?" Kataku, dimana tanganku masih tetap mengetik surat lamaran di laptop miniku.

"Kenapa gak kerja di tempat bokap lu?"

Sejenak tanganku berhenti. Mataku kosong menatap layar yang membisu. Aku menghela nafas, sedikit. Lalu menghembuskannya sebelum aku menjawab pertanyaan Christine,

"Gue gak mau kerja disana. Kenapa? Apa yang gue mau, gak bisa gue dapetin disana. Gue mau jadi penulis bukan sekretaris. Gue mau jadi seniman bukan budak atasan."

Sedikit dadaku mulai lega menjawab pertanyaan sahabatku ini. Aku melihat matanya memberikan pertanyaan yang sangat dalam. Mungkin, ia heran denganku. Terlahir dari keluarga kaya, pengusaha, dan apapun tinggal minta, tapi sama sekali tidak aku manfaatkan. Aku, payah?

Kulihat ekspresi Christine, lalu sedikit nampak agak memaklumi. Kebanyakan orang sepertiku hanya bisa digerakkan oleh kebijakkan sepihak. Ia harus mau menjalankan perintah orang tuanya, karena mereka punya kekuasaan. Aku lelah dihardik. Aku lelah dijadikan budak bisnis mereka yang akhirnya kami menjadi barang yang dijual.

"Terus, lu udah dapet panggilan belum?"

"Belum nih, doain ya biar cepet dapet. Gue janji, gaji pertama gue buat kita berdua makan-makan"

"Seriously? But sorry, gue punya duit buat beli keinginan gue, sister!" Katanya sambil meledek.

"Terserah kalo gak mau juga gapapa yeeee..

Drrrttt...

Drtttttt...

Drrrttttt...

Tin, eh sebentarrrr...."

Tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat notifikasinya adalah surat elektronik yang masuk. Sepertinya ini balasan dari emailku? Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka notifikasi ponselku.

"Selamat siang, Sylvia Adelina Wishnu. Terima kasih atas email yang Anda kirimkan. Kami sudah menerima dan mempelajari email Anda.

Kami dari Erlangga Advertisment mengundang Anda untuk hadir dalam tes wawancara yang sesuai dengan pekerjaan yang dipilih pada hari Senin, 26 November 2017 di Gedung Sasana Erlangga Charumitra, pukul 09.00 - selesai.

Harap konfirmasi kehadiran Anda. Terima kasih.

Regards,

Eka Arifianto"

Gue gak salah baca kan? Ini bukannya perusahaan yang paling gue mau?

Tanpa pikir panjang, aku langsung membalas email tersebut.

"Dear bapak Eka Arifianto,

Saya konfirmasi kehadiran untuk datang pada tes wawancara sebagai script writter pada hari dan jam tersebut. Terima kasih atas informasi yang diberikan.

Regards,

Sylvia Adelina Wishnu."

"Yes.. yes.. yes.. akhirnya gue dipanggil di Erlangga... aaaaaaaaaa... seneng banget!"

Aku sangat senang saat itu. Bahkan, aku sampai memeluk Christine berkali-kali. Christine hanya terdiam memandangiku keheranan sambil tersenyum bahagia melihat aku dipanggil oleh pekerjaan yang aku idamkan.

"Iyaaaa, Syl. Selamat ya! Btw, perut gue begah loh ini lu pelukin terus.." Katanya yang sambil menahan perutnya yang kekenyangan karena aku peluk dengan eratnya.

"Oh iya, Tin, maaf maaf ya.. Abis gue excited banget!"

***

Bahan editan yang kukerjakan membuat kepalaku sakit. Sejak semalam, aku belum tidur. Apakah aku sudah bisa disebut karyawan teladan?

"Gue udah undang satu kandidat buat skrip lu. Lusa gue panggil dia buat interview."

Tiba-tiba mas Eka mendatangi mejaku dan mengatakan bahwa ia sudah mengundang satu kandidat untuk wawancara. Kenapa cuma satu orang? Kenapa gak lebih?

"Loh, Mas, kok cuma satu? Pelamarnya sedikit kah?"

"Itu yang pas buat lu. yang lain? Kurang masuk kategori."

"Mas, tau darimana?"

"Ya dari CV-nya dong, Raka. Memang saya ini bodoh tidak bisa memilah-milah mana yang terbaik."

"Iya paham. Tapi mencari yang terbaik masa iya kandidatnya cuma satu?"

"Udah, gue yakin dia cocok kok buat jadi script writter lu. Tenang aja!"

"Mas, tau darimana?"

Mas Eka langsung berbalik badan menghadapku dan mengarahkan telunjuknya ke dadaku,

"Tau dari sini. Dari hati.."

Selesai ia mengucapkan itu, aku langsung terheran. Apa iya, calon kandidat yang sama sekali belum kita temui, bisa seyakin itu seorang Mas Eka menyandingkannya untuk bekerja satu tim denganku?

Ada apa denganmu, Mas?

R(Asa)Where stories live. Discover now