Third Person

16.6K 2.4K 645
                                    

"Savanna, kok aku jadi sinting gini, sih?" jeritku putus asa di telepon

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Savanna, kok aku jadi sinting gini, sih?" jeritku putus asa di telepon.

Savanna malah tertawa. "Bukannya dari lahir kamu sudah sinting?"

"Aku serius," gerutuku. Nggak lama aku sadar kalau sudah menangis. Aku berguling ke sisi tempat tidur memeluk bantal Heath. "Aku takut, Ana. Aku benar-benar takut dia pergi. Maksudku... pergi ke kematian."

"Glace, kalau kamu kayak gitu terus, nanti bisa jadi masalah." Savanna mendengus. "Siapa yang bisa melawan kematian, Glace? Kalau memang sudah saatnya meninggal, nggak usah nunggu dewasa dan bahagia, yang masih di dalam perut juga bisa meninggal. Teman Claire baru meninggal. Dia masih empat belas tahun, masih belum kenal baik dan buruk. Look at me! Bayiku yang baru gumpalan daging saja meninggal. Padahal, baru kemarin aku bahagia mau dapat bayi."

"Kok bisa sih? Kamu sakit?"

"Drey mainnya terlalu keras." Dia diam lama, terisak. Setelah menyedot ingus dia berkata, "Aku nggak nyalahin dia. Aku juga suka. Sayang, bayinya nggak suka." Dia tertawa, lalu diam sebentar. "Kata Pak Rinto, Tuhan bukan hanya mempertimbangkan keinginanku, tapi juga kebaikanku. Apa yang kita inginkan dan kita sukai belum tentu baik untuk kita, kan?"

"Mungkin Tuhan pengin kamu konsen sama Archie dan Claire," kataku mencoba menghiburnya.

Savanna menangis sambil tertawa. "Bisa jadi. Mereka sama-sama keras kepala. Aku sampai berpikir jangan-jangan sebenarnya mereka saudara. Kalau nggak ingat Martin dan Irene, aku yakin Claire itu kakak benerannya Archie." Pelan, dia mengatur napas. "Semua ada hikmahnya kan, Glace?"

"Iya," jawabku pelan, nggak yakin dengan jawaban ini.

"Kenapa kamu nggak ngobrol sama Mbak Ratna? Pas nikahan kemarin kan dia datang. Dia pasti tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Mbak Ratna juga handle kasus Heath, kan?"

"Tapi Mbak Ratna itu psikolog, bukan tukang rumpi kayak kita."

Savanna cekikikan. "Hina banget kayaknya kerjaan kita ini, Glace. You need someone yang benar-benar mengerti tentang masalah kejiwaan, Glace. Kalau kamu ngobrol sama orang kayak aku sama Karin, kamu cuma bakal dapat nasihat dan anjuran buat sabar. Kami nggak ngerti apa yang terjadi di dalam pikiranmu. Waktu ayah meninggal dulu, aku kayak orang linglung. Aku bahkan hampir nggak mengenali Drey. Mungkin di dalam dirimu juga ada masalah seperti itu."

Tiba-tiba dia diam. Mungkin dia mengenang kematian ayah. Waktu itu aku masih SMA. Kematian ayah cuma kesedihan mendalam. Aku bisa langsung melupakan kematian ayah setelah mendapat pelukan ibu dan main sama teman-teman. Waktu ibu meninggal sekitar tiga tahun kemudian, rasa sakitnya makin besar. Tapi, aku masih punya kekuatan untuk tersenyum dan tertawa sama keluargaku. Walau setiap malam aku menangisi ibu, tapi semua baik-baik saja. Kali ini, kematian itu rasanya luar biasa.

Ah, apa semakin tua manusia makin mudah sedih, ya?

"Glace," panggil Savanna dengan suara tercekat. "Kita nggak punya kemampuan untuk menghalau kejadian buruk dalam hidup kita. Whatever will be, will be. Tapi, jangan juga berpikiran buruk pada takdir. Negative mind always leads you to bad fate. Positive thinking aja, Glace."

Lovely Glacie (Terbit; Penerbit Galaxy)Where stories live. Discover now