Prolog

43 3 4
                                    

Seperti negeri dongeng.

Tak tak tak. Langkah kakiku menggema ringan di atas lantai pualam putih.

Malam ini, mengenakan riasan dan pakaian yang indah, aku bertekad memasuki dunia milik seseorang. Mungkin aku akan menjadikannya tiket sekali jalan yang akan kubuang saat aku selesai, sesuatu yang pantas untuk pria seperti dia.

Aku menghentikan langkah di tempat yang dikelilingi cahaya. Sambil berdiri anggun seperti pahatan keramik di tengah kemewahan tempat itu, aku mendongak, mengamati pertunjukan cahaya yang memukau.

Cahaya-cahaya berwujud burung menghambur di langit-langit setinggi tiga lantai. Beberapa ekor burung terbang rendah dan singgah di atas pohon-pohon lampu yang tinggi menjulang. Lampu-lampu kristal berbentuk dedaunan itu gemerlapan di tiap ranting-ranting besi yang berada di atas puncak tiang putih mengilat, seolah menjadi seperti antena sihir.

Aku menurunkan pandangan dari pertunjukan cahaya dan tatapanku segera terhenti pada seseorang. Di hadapanku, dia sedang melangkah mendekat.

Seorang pria bertubuh jangkung dengan balutan tuksedo biru kelam. Wajah dengan ekspresi yang membuat jantung berdebar dan tatapan mata yang membuat terpaku.

Dia ataukah cahaya lampu gemerlap di sekelilingnya yang membuatnya tampak menyilaukan?

Pria itu berhenti di hadapanku dan tersenyum.*) Aku membalas senyumannya seperti sedang jatuh cinta.

Tempat yang kupijak sepertinya mengeluarkan sihir yang berbahaya. Aku akan segera menyadarinya, pria ini seharusnya tidak kulibatkan dalam suatu permainan konyol hanya karena aku sedang sangat putus asa.

***


*)Sikap itu cukup untuk membuat para penggemarnya berteriak histeris.

Game OverWhere stories live. Discover now