Epilog

4 1 0
                                    


Meski salju sedang turun di luar, Haebaragi terasa begitu hangat. Entah karena penghangat ruangan atau karena keberadaannya.

Sinar matanya yang menatap lurus ke arah foto di Dinding Kenangan itu terlihat berbeda daripada yang terakhir kuingat. Mata yang biasanya terlihat sedih walau sedang tertawa itu, hari ini terlihat lebih cerah.

"Rasanya seperti sedang melompati waktu ketika berada di sini," Taeyang berkata seraya mengalihkan tatapan dari dinding itu ke arahku. "Karena itulah, aku ingin tempat ini lenyap sekaligus bertahan."

"Itu sangat labil," kataku. "Jadi, kamu ingin tempat ini lenyap atau bertahan?"

"Pada awalnya, aku ingin tempat ini lenyap. Tapi, kemudian aku berubah pikiran."

"Kenapa?"

"Karena kamu."

"Aku?"

"Karena kamu membuatku bisa berdamai dengan banyak hal."

"Itu bukan aku, tapi karena kamu sendiri." Sambil membawa dua cangkir kopi panas, aku melangkah ke arahnya. Aku menyodorkan secangkir padanya sambil berdiri menghadap Dinding Kenangan.

Taeyang menerima cangkir kopi itu. "Terima kasih."

"Bagaimana kabar ayahmu? Hari itu Halmeoni pasti sangat mencemaskannya."

"Ayahku sudah melewati masa kritis. Sekarang masih dirawat di rumah sakit."

"Semoga ayahmu segera sehat."

"Aku juga berharap begitu." Taeyang menyeruput minumannya seraya melirik ke arah jariku. "Cincin itu ..." katanya kemudian.

Aku mengangkat tangan kananku, memperlihatkan cincin pemberian Samudra. "Cincin ini?"

"Lepaskan saja!"

"Apa? Kenapa? Ini bagus." Apa dia tahu kalau ini pemberian Samudra?

"Akan kuganti."

"Wah, yang benar saja." Aku meneguk kopiku, tidak menganggapnya serius.

"Dengan ini ..." Taeyang mengeluarkan sebuah cincin dari saku jaketnya. Cincin berwarna perak dengan mata cincin berbentuk bunga matahari yang berkilau-kilauan. "Berliannya lebih banyak dari yang itu."

Dia membuatku tersedak. Astaga, pria ini ... "Tidak. Terima kasih."

"Kamu mau aku berlutut?"

"Bukan begitu. Tapi, sudah kubilang, 'kan? Aku adalah orang yang menepati janji."

"Terutama janji di atas kertas berkekuatan hukum?" Taeyang mengeluarkan selembar kertas dari balik jaketnya dan menyerahkannya ke tanganku.

Melihatnya sekilas saja, aku segera tahu lembaran kertas apa itu. "Oh?" Di sana tertulis perjanjianku dengan Halmeoni. Tetapi, ada bagian di dalam perjanjian itu yang membuat dahiku mengernyit.

"Itu adalah ucapan terima kasih dari Halmeoni," ujar Taeyang. "Halmeoni mencoret poin perjanjian tentang kamu yang tidak boleh berhubungan dengan keluarga pemilik Grup World dan memberikan tanda tangannya juga di bagian itu."

"Ini ..." Aku mendongak dari lembaran kertas itu ke arahnya.

"Iya." Taeyang mengangguk. "Itu berlaku sejak hari ini."

"Ini ucapan terima kasih yang cukup besar."

"Jadi ..."

"Ya?"

"Aku tidak pernah ingin bermain-main denganmu," Taeyang berkata seraya memandang wajahku. "Sejak dua tahun lalu ..."

"...."

Game OverWhere stories live. Discover now