Keahlian Memanfaatkan

16 2 3
                                    

Haebaragi yang sepi tiba-tiba menjadi ramai.

Hampir pukul sepuluh malam. Empat orang pria dengan gelagat seperti preman memasuki Haebaragi. Tidak ada seorang pun di Haebaragi saat mereka datang kecuali aku—Lee Ajeossi dan ibu tiriku pergi sejak sore untuk suatu urusan pekerjaan, sementara In-ho sedang keluyuran entah ke mana dan In-su masih belum kembali dari sekolah. Jadi, aku harus menghadapi para pengunjung itu sendirian sambil berusaha bersikap tenang.

"Maaf. Kami sudah tutup." Dalam bahasa negara setempat kukatakan itu saat melihat gelagat mereka yang tidak biasa.

Penampilan mereka membuatku berpikiran buruk. Meski begitu, aku tetap meyakinkan diriku agar tidak menilai orang dari penampilan luar mereka.

"Saat ini kami sudah tutup," kataku lagi, "Tapi, kami akan mendatangkan barang-barang baru mulai besok. Jadi, akan lebih baik jika Anda semua berkunjung ke toko kami besok pagi atau beberapa hari lagi. Anda akan menemukan lebih banyak barang yang bervariasi."

Aku berusaha bersikap sopan karena kuanggap mereka pelanggan. Tapi, kalimat benada sopan yang kuucapkan sepertinya tidak membuat mereka paham, mereka tidak menggubris. Para pria yang tidak kukenal itu melangkah dengan tak peduli dan menyentuh barang-barang yang terpajang di dalam toko secara sembarangan, kemudian melempar setiap barang yang mereka pegang ke lantai dengan sikap santai. Sambil melakukan tindakan yang menyebabkan kerusakan pada barang-barang itu, mereka membicarakan masalah yang tidak kupahami, tentang 'mengambil sesuatu dari tempat yang tidak membayar pinjaman tepat waktu'.

Kesabaranku mulai menipis. Dan dengan sikap yang selalu berubah menjadi lebih buruk ketika kehilangan kesabaran, aku segera mengusir mereka keluar tanpa berbasa-basi. "Pergilah baik-baik, atau kalian akan berakhir di penjara," ujarku mengancam.

Kurogoh ponsel di saku hoodie-ku dan menekan nomor panggilan darurat 112. Namun, sebelum panggilan itu terhubung, ponselku lebih dulu dirampas dari tanganku. Salah seorang dari para preman itu sudah berdiri di dekatku, merampas dan melempar ponselku ke lantai.

Hah! Aku tidak lagi bisa menahan diri, kekesalanku meningkat.

"Ah! Itu terlepas dari tanganku," preman itu berkata dengan ekspresi mengejek.

Aku menatap ponsel yang tergeletak di lantai dengan perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Layarnya retak!!!

Lalu, kuangkat kepala, melempar tatapan tajam pada preman yang telah menyebabkan ponselku berakhir seperti itu. Kesabaran memang bukan bagian dari diriku. "Aissi!" Refleks, aku pun menyeruduk wajah preman itu dengan kepalaku. Gerakan refleks yang kulakukan di saat tertentu biasanya sama sekali tidak kusadari proses dan akibatnya, itu selalu kulakukan tanpa berpikir, seperti saat ini.

"Ah! Itu hanya refleks," ujarku dengan sikap angkuh. "Aku anggap itu bayaran untuk kerusakan ponselku."

Preman itu bergeming, sementara dari hidungnya mengalir keluar cairan merah. Dengan santai ia menyeka cairan merah di hidungnya menggunakan jempolnya dan berkata, "Aku suka gadis ini."

"Apa?"

Preman itu mencengkeram lenganku kuat-kuat. "Siapa sangka aku bertemu gadis idamanku di sini. Hahaha."

"Aissi! Lepaskan! Atau akan kubuat kau menyesal," ujarku marah.

Preman itu tertawa puas dan berkata pada teman-temannya, "Bukankah dia yang akan kita jemput?"

Ketiga rekan premannya yang lain ikut tertawa-tawa dan mengangguk. Lalu, preman itu menyeretku keluar dari toko dengan sangat kasar.

Meski aku berusaha melawan, aku tetap terseret keluar dari toko dengan mudah. 'Argh! Jika saja aku berolahraga dengan lebih giat, tubuhku tidak akan selemah ini.'

Game OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang