Hari Bersalju di Resor Ski

6 2 0
                                    

Resor ski pada saat malam hari memiliki pesona tersendiri. Indah dan misterius yang menarik.

Hamparan putih salju yang luas sangat kontras dengan langit hitam di atasnya. Suasana sedikit berkabut ditembus cahaya lampu-lampu yang menenerangi seluruh lintasan bersalju, memperlihatkan dengan jelas pemandangan lift yang sedang bergerak membawa orang-orang ke ketinggian dan kegiatan orang-orang yang berada di area luas bersalju itu serta deretan pepohonan tak berdaun yang terlihat gelap tanpa penerangan.

Ketika malam hari, suasana di tempat ini lebih dingin dan jarak pandang lebih pendek daripada saat siang hari. Itu akan memberikan sedikit kesulitan, terutama untukku. Aku tidak memiliki masalah dengan penglihatan tapi, aku mudah bermasalah dengan cuaca dingin. Bermain ski atau snowboard, apalagi di malam hari, tidak penah kulakukan lagi semenjak terakhir kali aku mengalami demam tinggi setelah belajar bermain ski di usia delapan tahun.

"Huatsyi!" Aku bersin lagi untuk yang kesekian sejak berjalan turun dari lift.

Kuabaikan bersin yang mengganggu. Hari ini akan kulupakan ketidaksenanganku berada di luar pada saat cuaca sedang sangat dingin, karena aku menghargai semua yang telah dilakukan Samudra untuk membantuku.

Aku mengenakan pakaian untuk bermain snowboard yang diberikan Samudra. Ia membawa pakaian dan peralatan untuk bermain ski dan snowboard di dalam bagasi mobilnya. Katanya, pakaian yang dipinjamkan padaku itu diambilnya dari kamar sepupu perempuannya yang sebelumnnya ia tunjukan padaku. Sepertinya Samudra sudah mempersiapkan perjalanan ke resor ski ini bersamaku, walau katanya ini tidak direncanakan karena pada awalnya ia hanya berencana untuk datang sendiri ke tempat ini.

Sambil membawa papan snowboard aku melangkah di sebelah Samudra, berjalan di atas hamparan salju putih.

"Hey! Di sini rupanya." Samudra menghampiri seorang pria yang sedang merekam pemandangan sekitar dengan menggunakan ponselnya.

Pria dengan perawakan wajah Asia dan tubuh yang sedikit lebih rendah daripada Samudra itu tersenyum lebar seraya menurunkan ponsel di tangannya. "Hey, Sam! Apa kabar?"

'Dia bicara menggunakan bahasa Indonesia dan terdengar bagus.'

"Baik," jawab Samudra. "Mana yang lain?"

Pria itu menolehkan kepalanya ke arah sekelompok orang yang berada tak jauh darinya.

"Saaaam!" Salah seorang gadis yang berada di dalam kelompok itu berteriak sembari melambai.

Samudra tersenyum dan membalas lambaiannya. Kemudian ia memalingkan wajah ke arahku. "Kami reuni hari ini," ujarnya. "Seperti yang kubilang tadi, kamu mungkin akan bertemu beberapa temanku di sini."

Aku paham. "Ya."

"Calon istrimu?" Pria yang berdiri di sebelah Samudra itu bertanya.

"Himalaya." Samudra menyebutkan namaku, sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang diajukan temannya seolah pertanyaan itu tidak didengarnya. "Dan, Takahashi Kei," ia melanjutkan dengan memperkenalkan nama pria itu kepadaku.

Takahasi Kei. Ayahnya orang Jepang dan ibunya orang Amerika. Pria berjiwa bebas yang menyukai petualangan di alam. Aku mengingat apa yang dikatakan Samudra beberapa saat lalu, tentang identitas temannya yang akan ia kenalkan padaku. Jadi, dialah Takahashi Kei itu?

"Himalaya?"

Dia mungkin orang kesekian yang menganggap nama Himalaya itu cukup unik dijadikan nama orang.

"Takahashi-san, hajimemashite. Himalaya desu," (senang bertemu dengan Anda) aku menyapa sopan dengan anggukan ringan.

"Kochirakoso, hajimemashite." (Senang bertemu dengan Anda juga). Pria itu pun mengangguk ringan dan tersenyum ramah. "Taka," ucapnya kemudian, "Seperti itu saja, seperti teman-temanku yang lain."

Game OverWhere stories live. Discover now