Penawaran yang Tidak Bisa Ditolak

4 1 0
                                    

Sudah belasan tahun berlalu sejak kalimat itu kudengar.

"Dunia ini adalah dunia yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh siapa pun lagi."

Seseorang yang dulu selalu datang mengunjungi Haebaragi hanya untuk menatap foto di dinding itu mengatakannya. Hari ini tiba-tiba saja ingatan tentangnya terlintas di kepalaku saat aku menatap foto-foto di dinding yang sama.

"Dia benar ..."

Dunia yang ada di dalam foto-foto itu sekarang sudah tidak bisa dimiliki lagi oleh mereka semua yang fotonya terpajang di sana, terkecuali jika mereka memiliki mesin waktu. Atau, mereka masih bisa memiliki dunia itu melalui Haebaragi. Mungkin Dinding Kenangan di sudut toko ini bisa menjadi mesin waktu bagi seseorang yang akan kembali ke tempat ini pada suatu hari.

Kutatap lembaran kertas yang sejak tadi kupegang. Sebuah permainan tak masuk akal telah tersusun di dalam kepalaku dan sebuah penawaran paling konyol telah tersusun di dalam lembaran kertas itu. Lalu, kudongakkan kepala ke arah Dinding Kenangan di depanku.

"Aku mempertaruhkan harga diriku untuk seluruh kenangan yang ada di tempat ini," ucapku pada dinding itu.

Berbagai skenario—mulai dari yang bagus sampai yang terburuk—bermunculan di dalam kepalaku. Aku bisa menebak bagaimana penawaran konyol itu akan dimulai, namun aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana itu akan berakhir.

***

PLAK!!

Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiriku terasa panas.

"Gadis murahan! Kamu sangat mengecewakanku!" Kemarahan Halmeoni meledak tanpa peringatan. Ia menamparku bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di dalam unit apartemen Taeyang.

"Hameoni?" Taeyang muncul di belakangku. "Apa yang Halmeoni lakukan?"

"Itu yang ingin kutanyakan padamu," Halmeoni berkata pada Taeyang dengan marah. "Apa yang sudah kamu lakukan dengan gadis tidak tahu malu ini?"

Aku tidak pernah ditampar seperti ini. Aku juga tidak pernah membiarkan siapa pun merendahkanku. Tapi, aku tidak membantahnya. Satu tamparan serta hardikan kasar dengan sebutan murahan dan tidak tahu malu, itu akan kuanggap sebagai bayaran impas untuk mengecewakan perasaannya.

Taeyang menarikku ke arahnya. Ia pun berdiri di antara aku dan neneknya. "Akan kujelaskan semuanya pada Halmeoni nanti," Taeyang berkata pada Halmeoni, "Sekarang aku harus mengantarnya pulang."

Halmeoni menatapnya tajam. "Kita akan bicara. Tidak nanti, tapi sekarang!" Tatapannya beralih ke arahku. "Dengan gadis penipu ini juga."

Kemudian, Halmeoni melangkah masuk ke dalam apartemen Taeyang. Ia menuju ruang tamu dan duduk di salah satu sofa.

"Aku akan mengantarmu pulang." Taeyang menarik tanganku, membawaku keluar dari apartemennya.

Namun, aku tidak bergerak sedikit pun dari tempatku.

Taeyang berhenti dan menoleh. "Kamu tidak dengar? Ayo, kuantar pulang!"

"Halmeoni ingin bicara padaku."

"Hima—"

"Ayo, kita dengarkan apa yang ingin Halmeoni katakan," kataku, memotong kalimatnya.

"Tidak. Biar aku saja yang bicara pada Halmeoni."

"Taeyang ssi, jika aku pergi sekarang, aku akan selalu menjadi gadis murahan dan tidak tahu malu di depannya. Aku tidak bisa membiarkan Halmeoni berpikir seperti itu selamanya." Aku harus mempertahankan harga diriku.

Game OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang